Terkadang atau bahkan sering kalinya kita tidak pernah mengetahui seberapa besar ruang yang telah kita tempati. Barangkali kita pun tak pernah ingin tahu sama sekali. Entah itu besar atau kecil. Luas atau sempit. Dingin atau hangat. Terang atau gelap.
Tidak di awalnya. Tidak begitu penting bagi kita, sama sekali. Hal yang biasanya selalu kita pikirkan hanyalah kenyamanan yang kita dapatkan, setidaknya untuk saat-saat seperti ini. Sering kali kita mengabaikan apa yang kita akan rasakan ke depannya. Dan biasanya kita akan mulai merasakan semua keganjilan tersebut ketika kita merasakannya secara tidak terduga.
Sesak.
Sakit.
Hasrat.
Kebencian.
Cinta.
Semua rasa itu akan berkumpul menjadi satu kesatuan dalam suatu ruangan yang sama. Dan ketika mereka telah menjadi satu, barulah kita akan menyadari betapa sempitnya ruangan tersebut. Betapa kecilnya. Betapa sesaknya. Dan pada saat itu juga, barulah kita akan mencari lilin untuk mencari tempat yang lebih luas. Namun, tidak semudah itu.
Begitu banyak dinding yang harus kita lewati. Membentengi tiap ruangan yang tidak akan pernah kita ketahui seperti apa ruangan yang lainnya. Terutama bila kita hanya mempunyai satu kesempatan untuk mendaki dinding tersebut. Dan untuk melakukannya kita membutuhkan kekuatan untuk melawan dinding yang tersusun atas batuan-batuan yang kokoh.
Tapi, apa yang harus kita lakukan ketika kita hanya seorang diri dalam ruangan gelap tersebut?
Menangis kah?
Berdiam diri?
Atau tetap berusaha memanjat dinding tersebut meski kita tahu kalau kita tidak akan sekuat dinding tersebut? Bagaimana kalau kita masih terperangkap di ruangan yang sama?
Seseorang pernah berkata, jangan pernah menyesali apa yang kau dapatkan kini. Dan itu benar. Meski kita terperangkap seorang diri dalam ruangan gelap tersebut, tak usah berputus asa, karena dalam kegelapan pun kita masih bisa menemukan kebahagiaan dan kehangatan. Hanya bila kita tak pernah melupakan kalau kita masih memiliki lilin dengan api di ujung sumbunya.
.
.
.
Naif bila seseorang berpikir bahwa perjalanan hidupnya akan berjalan sebagai mana mestinya. Tidak akan ada yang tahu bila takdir mengubah rotasinya menjadi keterbalikan dari apa yang menjadi hipotesa kita. Mungkin kita hidup sekarang, namun besok siapa yang tahu? Mungkin kita adalah diri kita yang sekarang, namun besok siapa tahu kita terbangun dalam tubuh yang lain.
Namun, pernyataan tersebut hanya bagaikan omong kosong belaka. Bualan yang hanya bisa membuat gadis seperti Momoi Satsuki mendengus lucu dengan makna ungkapannya. Betapa lucunya dulu ia pernah berpikir demikian pula. Ia pikir kehidupan keluarganya akan lebih baik setelah Ibunya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang duda beranak satu.
Lima tahun lalu masih begitu jelas betapa bahagianya raut wajah sang Ibu ketika Ayah tirinya memasangkan cincin yang mengikat mereka sebagai sepasang suami istri. Dan dia di sana berusaha untuk tersenyum dan merasakan kebahagiaan serupa seperti Ibunya. Ia pikir Kakak tirinya, Nijimura Shuuzou, juga melakukan hal yang serupa. Karena sejak itu mereka adalah keluarga yang baru saja memulai kehidupan baru.
Tapi nyatanya itu semua benar-benar omong kosong lagi untuknya. Sumpah serapah dan amarah seolah yang menjadi penghuni satu-satunya di rumah tersebut, yang kemudian membuat Nijimura memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Tokyo dengan membiayai hidup sendiri. Seolah ia sudah benar-benar lepas tangan mengenai sepasang sejoli yang gagal tersebut.
Menyesal kadang muncul dalam benak Momoi. Mengapa ia tak ikut saja dengan Kakak tirinya? Ironis memang, tapi Nijimura jauh lebih menghargai kehadirannya bahkan menganggapnya benar-benar seperti Adik kandungnya sendiri. Tak heran dibanding Ayah Nijimura sendiri, Momoi justru yang paling merasa kehilangan Nijimura.
Dan coba bayangkan, sejak pagi buta sampai matahari meninggalkan tahtanya pun sumpah serapah itu masih terdengar—sial, tak bisakah mereka mengunci mulut sebentar saja?!
Sungguh sial! Tidakkah mereka berpikir bahwa apa yang mereka sebabkan dapat mengirimkan kebencian mendalam dari anak mereka sendiri? Bagaimana mungkin Momoi tetap bertahan di rumah yang hanya berisi caci maki tanpa adanya keinginan dari mereka berdua untuk mencoba mengalah? Benar-benar orang tua yang menyedihkan—atau justru dirinyalah yang tidak mengerti situasi dan kondisi di sini?
Ha! Bollocks!
Momoi mengalihkan pandangan kedua matanya pada secarik kertas yang kini ia genggam. Sebuah kertas yang tertulis alamat apartemen yang ditempati oleh Nijimura di Tokyo. Ya, dia akan sesegera mungkin meniti hidup baru di sana daripada terjebak di sini sendirian. Sekarang sepertinya Momoi cukup mengerti alasan kuat Nijimura ingin segera lulus SMA dan tinggal di Tokyo.
"Tolong, pikirkan pilihanmu lagi, Satsuki," kata Ibunya memohon kepadanya semalam, "Kau tidak pernah tinggal di Tokyo. Aku tidak ingin sesuatu berbahaya terjadi denganmu bila kau menetap di sana."
Momoi menatapnya iba. "Tapi kalian melanggar janji. Dulu kalian janji akan akur kembali dan menjadi keluarga yang sebenarnya asalkan aku tidak menyusul Kak Shuuzou. Nyatanya aku tidak melihat perubahan apapun di sini, justru Ayah dan Ibu semakin gencar mencaci-maki satu sama lain."
"Satsuki…," tiba-tiba Ibunya menatap sengit kepada suaminya, "Kenapa kau hanya bersikap diam seperti itu saja? Jangan hanya karena Satsuki adalah putriku dari mantan suamiku lantas kau bersikap enteng dengan tindakannya kali ini. Katakan sesuatu, Satoshi!"
"Apa?! Kau ingin aku melarangnya pergi? Usianya sudah 18 tahun, dia punya hak ingin pergi ke manapun. Selain itu, Satsuki memiliki Shuuzou di Tokyo, dan aku percaya bahwa putraku bisa menjaga Satsuki meski mereka hanyalah sebatas saudara tiri."
"Beraninya kau—"
"Hentikan!" Momoi berteriak dan menatap keduanya kecewa, "Aku pergi sekarang."
Sementara itu di sebuah gedung tua di pinggir kota, terkikis dari capaian pandangan masyarakat luas kota Tokyo, beberapa orang berkumpul di sebuah ruangan dengan jendela yang terbuka lebar. Padahal ini masih musim dingin, terlihat beberapa kepingan salju terbawa angin hingga memasuki ruangan tersebut.
Mereka tak kedinginan, padahal tubuh mereka hanya terbalut pakaian biasa tanpa sebuah mantel ataupun syal. Padahal kulit mereka sudah begitu pucat bagaikan seseorang yang terlalu lama berdiam diri di luar sana, tapi mereka tak bisa merasakan hawa dingin tersebut. Tubuh pucat itu bagaikan tak dialiri oleh darah.
"Akashi, kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita berambut hitam agak khawatir dengan kondisi pemuda berambut merah darah yang kini berdiam diri di sofa sana. Mungkin ia terkesan tak mendengarkan, pikirannya memang tengah memikirkan hal lain. Hal lain yang sama sekali tidak diketahuinya sampai detik ini.
"Entah," hanya itu yang bisa ia jawab. Karena memang ia masih tidak mengerti apa yang terjadi dengannya. Bukan karena ia tak bisa tidur. Well, sejak dulu memang ia tidak pernah tidur. Sejak beberapa bulan yang lalu pikirannya dikuasai oleh kekhawatiran dan kegelisahan yang tak berujung. Seolah ada sesuatu di luar dunianya yang tengah menanti. Dunia baru yang tak dikenalinya namun siap untuk menangkapnya saat waktunya ia jatuh ke dalam.
Tiba-tiba sang kepala keluarga di sana menyentuh bahunya sehingga membuatnya terkesiap sebentar.
"Katakan sesuatu bila ada yang mengganggu pikiranmu," katanya.
Pemuda itu balas menatapnya. "Ada sesuatu yang akan terjadi."
"Sesuatu?!" tiba-tiba saja gadis berambut cokelat sebahu menghampirinya setelah mengabaikan acara tivi kesukaannya, "Apa itu? Baik atau buruk? Apa memiliki dampak negatif untuk kita atau sebalik—"
"Riko, jangan buru-buru seperti itu," potong pemuda berkacamata di sampingnya. Kini mereka semua mengarahkan pandangan mereka pada pemilik mata merah-emas di ruangan tersebut.
"Kenapa sekarang kau justru diam, Akashi?" tanya seorang wanita blonde sambil duduk di samping pemuda dengan bobot tubuh berotot yang kini sibuk memutar-mutar asal bola oranye di jarinya.
Akashi Seijuurou menatap mereka semua sebelum menjawab. "Keduanya.
Terkadang atau bahkan sering kalinya kita tidak pernah mengetahui seberapa besar ruang yang telah kita tempati. Barangkali kita pun tak pernah ingin tahu sama sekali. Entah itu besar atau kecil. Luas atau sempit. Dingin atau hangat. Terang atau gelap.
Tidak di awalnya. Tidak begitu penting bagi kita, sama sekali. Hal yang biasanya selalu kita pikirkan hanyalah kenyamanan yang kita dapatkan, setidaknya untuk saat-saat seperti ini. Sering kali kita mengabaikan apa yang kita akan rasakan ke depannya. Dan biasanya kita akan mulai merasakan semua keganjilan tersebut ketika kita merasakannya secara tidak terduga.
Sesak.
Sakit.
Hasrat.
Kebencian.
Cinta.
Semua rasa itu akan berkumpul menjadi satu kesatuan dalam suatu ruangan yang sama. Dan ketika mereka telah menjadi satu, barulah kita akan menyadari betapa sempitnya ruangan tersebut. Betapa kecilnya. Betapa sesaknya. Dan pada saat itu juga, barulah kita akan mencari lilin untuk mencari tempat yang lebih luas. Namun, tidak semudah itu.
Begitu banyak dinding yang harus kita lewati. Membentengi tiap ruangan yang tidak akan pernah kita ketahui seperti apa ruangan yang lainnya. Terutama bila kita hanya mempunyai satu kesempatan untuk mendaki dinding tersebut. Dan untuk melakukannya kita membutuhkan kekuatan untuk melawan dinding yang tersusun atas batuan-batuan yang kokoh.
Tapi, apa yang harus kita lakukan ketika kita hanya seorang diri dalam ruangan gelap tersebut?
Menangis kah?
Berdiam diri?
Atau tetap berusaha memanjat dinding tersebut meski kita tahu kalau kita tidak akan sekuat dinding tersebut? Bagaimana kalau kita masih terperangkap di ruangan yang sama?
Seseorang pernah berkata, jangan pernah menyesali apa yang kau dapatkan kini. Dan itu benar. Meski kita terperangkap seorang diri dalam ruangan gelap tersebut, tak usah berputus asa, karena dalam kegelapan pun kita masih bisa menemukan kebahagiaan dan kehangatan. Hanya bila kita tak pernah melupakan kalau kita masih memiliki lilin dengan api di ujung sumbunya.
.
.
.
Naif bila seseorang berpikir bahwa perjalanan hidupnya akan berjalan sebagai mana mestinya. Tidak akan ada yang tahu bila takdir mengubah rotasinya menjadi keterbalikan dari apa yang menjadi hipotesa kita. Mungkin kita hidup sekarang, namun besok siapa yang tahu? Mungkin kita adalah diri kita yang sekarang, namun besok siapa tahu kita terbangun dalam tubuh yang lain.
Namun, pernyataan tersebut hanya bagaikan omong kosong belaka. Bualan yang hanya bisa membuat gadis seperti Momoi Satsuki mendengus lucu dengan makna ungkapannya. Betapa lucunya dulu ia pernah berpikir demikian pula. Ia pikir kehidupan keluarganya akan lebih baik setelah Ibunya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang duda beranak satu.
Lima tahun lalu masih begitu jelas betapa bahagianya raut wajah sang Ibu ketika Ayah tirinya memasangkan cincin yang mengikat mereka sebagai sepasang suami istri. Dan dia di sana berusaha untuk tersenyum dan merasakan kebahagiaan serupa seperti Ibunya. Ia pikir Kakak tirinya, Nijimura Shuuzou, juga melakukan hal yang serupa. Karena sejak itu mereka adalah keluarga yang baru saja memulai kehidupan baru.
Tapi nyatanya itu semua benar-benar omong kosong lagi untuknya. Sumpah serapah dan amarah seolah yang menjadi penghuni satu-satunya di rumah tersebut, yang kemudian membuat Nijimura memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya di Tokyo dengan membiayai hidup sendiri. Seolah ia sudah benar-benar lepas tangan mengenai sepasang sejoli yang gagal tersebut.
Menyesal kadang muncul dalam benak Momoi. Mengapa ia tak ikut saja dengan Kakak tirinya? Ironis memang, tapi Nijimura jauh lebih menghargai kehadirannya bahkan menganggapnya benar-benar seperti Adik kandungnya sendiri. Tak heran dibanding Ayah Nijimura sendiri, Momoi justru yang paling merasa kehilangan Nijimura.
Dan coba bayangkan, sejak pagi buta sampai matahari meninggalkan tahtanya pun sumpah serapah itu masih terdengar—sial, tak bisakah mereka mengunci mulut sebentar saja?!
Sungguh sial! Tidakkah mereka berpikir bahwa apa yang mereka sebabkan dapat mengirimkan kebencian mendalam dari anak mereka sendiri? Bagaimana mungkin Momoi tetap bertahan di rumah yang hanya berisi caci maki tanpa adanya keinginan dari mereka berdua untuk mencoba mengalah? Benar-benar orang tua yang menyedihkan—atau justru dirinyalah yang tidak mengerti situasi dan kondisi di sini?
Ha! Bollocks!
Momoi mengalihkan pandangan kedua matanya pada secarik kertas yang kini ia genggam. Sebuah kertas yang tertulis alamat apartemen yang ditempati oleh Nijimura di Tokyo. Ya, dia akan sesegera mungkin meniti hidup baru di sana daripada terjebak di sini sendirian. Sekarang sepertinya Momoi cukup mengerti alasan kuat Nijimura ingin segera lulus SMA dan tinggal di Tokyo.
"Tolong, pikirkan pilihanmu lagi, Satsuki," kata Ibunya memohon kepadanya semalam, "Kau tidak pernah tinggal di Tokyo. Aku tidak ingin sesuatu berbahaya terjadi denganmu bila kau menetap di sana."
Momoi menatapnya iba. "Tapi kalian melanggar janji. Dulu kalian janji akan akur kembali dan menjadi keluarga yang sebenarnya asalkan aku tidak menyusul Kak Shuuzou. Nyatanya aku tidak melihat perubahan apapun di sini, justru Ayah dan Ibu semakin gencar mencaci-maki satu sama lain."
"Satsuki…," tiba-tiba Ibunya menatap sengit kepada suaminya, "Kenapa kau hanya bersikap diam seperti itu saja? Jangan hanya karena Satsuki adalah putriku dari mantan suamiku lantas kau bersikap enteng dengan tindakannya kali ini. Katakan sesuatu, Satoshi!"
"Apa?! Kau ingin aku melarangnya pergi? Usianya sudah 18 tahun, dia punya hak ingin pergi ke manapun. Selain itu, Satsuki memiliki Shuuzou di Tokyo, dan aku percaya bahwa putraku bisa menjaga Satsuki meski mereka hanyalah sebatas saudara tiri."
"Beraninya kau—"
"Hentikan!" Momoi berteriak dan menatap keduanya kecewa, "Aku pergi sekarang."
Sementara itu di sebuah gedung tua di pinggir kota, terkikis dari capaian pandangan masyarakat luas kota Tokyo, beberapa orang berkumpul di sebuah ruangan dengan jendela yang terbuka lebar. Padahal ini masih musim dingin, terlihat beberapa kepingan salju terbawa angin hingga memasuki ruangan tersebut.
Mereka tak kedinginan, padahal tubuh mereka hanya terbalut pakaian biasa tanpa sebuah mantel ataupun syal. Padahal kulit mereka sudah begitu pucat bagaikan seseorang yang terlalu lama berdiam diri di luar sana, tapi mereka tak bisa merasakan hawa dingin tersebut. Tubuh pucat itu bagaikan tak dialiri oleh darah.
"Akashi, kau baik-baik saja?" tanya seorang wanita berambut hitam agak khawatir dengan kondisi pemuda berambut merah darah yang kini berdiam diri di sofa sana. Mungkin ia terkesan tak mendengarkan, pikirannya memang tengah memikirkan hal lain. Hal lain yang sama sekali tidak diketahuinya sampai detik ini.
"Entah," hanya itu yang bisa ia jawab. Karena memang ia masih tidak mengerti apa yang terjadi dengannya. Bukan karena ia tak bisa tidur. Well, sejak dulu memang ia tidak pernah tidur. Sejak beberapa bulan yang lalu pikirannya dikuasai oleh kekhawatiran dan kegelisahan yang tak berujung. Seolah ada sesuatu di luar dunianya yang tengah menanti. Dunia baru yang tak dikenalinya namun siap untuk menangkapnya saat waktunya ia jatuh ke dalam.
Tiba-tiba sang kepala keluarga di sana menyentuh bahunya sehingga membuatnya terkesiap sebentar.
"Katakan sesuatu bila ada yang mengganggu pikiranmu," katanya.
Pemuda itu balas menatapnya. "Ada sesuatu yang akan terjadi."
"Sesuatu?!" tiba-tiba saja gadis berambut cokelat sebahu menghampirinya setelah mengabaikan acara tivi kesukaannya, "Apa itu? Baik atau buruk? Apa memiliki dampak negatif untuk kita atau sebalik—"
"Riko, jangan buru-buru seperti itu," potong pemuda berkacamata di sampingnya. Kini mereka semua mengarahkan pandangan mereka pada pemilik mata merah-emas di ruangan tersebut.
"Kenapa sekarang kau justru diam, Akashi?" tanya seorang wanita blonde sambil duduk di samping pemuda dengan bobot tubuh berotot yang kini sibuk memutar-mutar asal bola oranye di jarinya.
Akashi Seijuurou menatap mereka semua sebelum menjawab. "Keduanya.
การแปล กรุณารอสักครู่..