Buku kedua, Tetralogi Pulau buru karya Pramudya Ananta Toer. Buku ini sekaligus buku terakhir yang kubaca tentang kisah Minke, alias Tirta Adi Surjo, yang pada tahun 2006 lalu akhirnya diakui dengan gelar pahlawan Nasional. Acak.
Kisah di buku kedua ini menceritakan babak baru hidup Minke setelah ditinggal istrinya Annelies. Annelies yang patah hati, semakin lemah dan jatuh sakit dalam perjalanan dan akhirnya meninggal di negeri moyangnya Netherland. Jauh dari orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Murung.
Juga cinta, sebagaimana halnya setiap benda dan hal, mempunyai bayang-bayang. Dan bayang-bayang cinta itu bernama derita. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri.
Minke tetap tinggal bersama mertuanya, Nyai Ontosoroh. Juga tak ingin hidup dalam bayang-bayang Nyai Ontosoroh yang selalu dikaguminya_perempuan pribumi yang mampu mandiri dan menghujat kolonialisme. Tapi selalu saja ada masalah yang menahan Minke untuk melanjutkan sekolahnya ke Batavia sebagai dokter. Agaknya semua bermuara pada upaya perampasan hasil jerih payah Nyai, dari keluarga almarhum Suaminya sekaligus pembunuh Annelies. Mereka terus berjuang mempertahankan haknya, sampai akhirnya hanya bisa mengandalkan lisan saja.
Para sahabat Minke mengajaknya berkenalan dengan semangat pembaharuan selain eropa. Eropa yang selama ini satu-satunya tempat dia memandang, sebagai sebagai peradaban yang lebih tinggi mulai berhadapan oleh negara-negara di Asia yang berusaha menyaingi eropa.
Adanya Pengakuan Belanda terhadap Jbangsa epang yang dianggap setara dengan bangsa Eropa. Geliat Cina yang ingin menjadi Republik, dan yang terdekat Philipina, dengan Jose Rizalnya kemudian menjadi negara Republik yang pertama di Asia.
Seperti yang terekam dalam kata Khow Ah Soe_aktifis tionghoa yang terlunta-lunta demi cita-cita kaum muda bangsanya: "Kami harus serasikan Cina kami dengan kekuatan eropa, tanpa menjadi eropa. Seperti halnya dengan Jepang".
Atau belajar dari Jepang, dalam sebuah seminar:
Setiap orang Jepang yang meninggalkan negerinya, apakah dia kuli nenas di Hawaii, apakah dia koki kapal bangsa lain, apakah dia koki pada sebuah Mansion di San Fransisco, apakah dia pelacur di kota-kota besar di dunia, semua mereka adalah jantung dan hati bangsa Jepang, tidak bisa terpisahkan dari negerinya, leluhurnya dan bangsanya.
Kelak mereka kembali ke negerinya, membangun Jepang setara dengan Eropa.
Perubaahan bangsa-bangsa sekitar, membuat Minke terheran heran. Belajar dari peradaban yang bukan eropa, awalnya aneh, baru dan tak terbayangkan bisa terjadi. Bagaimana sistem kerajaan mulai ditinggalkan dan berganti dengan republik. Revolusi perancis sebagaimana di eropa juga terjadi di Asia. Dan bentuk pemerintahan baru dicapai dengan istilah asing yang baru didengarnya yaitu bernama Organisasi.
Mungkin ini sebabnya, judul buku ini menjadi anak semua bangsa ya?
Karena memang banyak pembelajaran dari negara selain eropa. Bagai bayi semua bangsa dari segala jaman, yang kemudian tumbuh. Dan kelak menjadi cikal bakal tumbuhnya nasionalisme di Indonesia.
Karir menulis Minke semakin menanjak. Tak hanya berbahasa Belanda, dia juga ditantang menulis dalam bahasa Inggris. Tapi sahabat-sahabat terdekatnya justru mendesaknya menulis dalam bahasa yang dianggapnya rendah. Bahasa bangsanya, bukan bahasa Jawa, tapi bahasa Melayu. Bahasa tanpa kasta.
Pada buku ketiga, kelak bahasa inilah yang dipilih menjadi alat perjuangan, alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Minke memperkuat bahasa melayu melalui surat kabar "Medan Prijaji"nya. Bahasa iniah yang jadi cikal bakal pemersatu dan lahirnya Indonesia. Andai Minke menggunakan bahasa Jawa, mungkin Indonesia pun tak pernah ada.
Sebelum menulis dalam bahasa Melayu, Minke digugat untuk mengenal bangsanya sendiri. Baru saja hmulai menulis tentang bangsanya, Minke membongkar kekejaman kapitalis Industri Gula di Tulangan Sidoarjo. Praktek perampasan tanah rakyat!. Membuat bangsanya menjadi budak di tanah sendiri. Dan agaknya praktek ini masih juga tersisa hingga sekarang. Tak pemerintah, maupun pemilik modal. Dengan alasan pembangunan mencaplok hutan dan tanah rakyat, mengganti dengan tambang, jalan tol atau apalah. Hasilnya, rakyat tak juga sejahtera, makin miskin. Tapi yang pasti memperkaya pemilik modal.
Pelajaran penting buat Minke yang akhirnya menyadari bahwa Surat kabar bisa memihak. Keberadaan surat kabar tempatnya bekerja ternyata untuk mengukuhkan kekuatan pemilik modal yang mendanai keberadaannya. Bangsanya harus membuat sendiri surat kabar yang menyuarakan kepentingan bangsanya.
Agaknya aktifis saat ini perlu kembali menyadari kembali hal ini ditengah derasnya Media massa saat ini. Benarkah berpihak pada Rakyat?.
Seperti tema yang juga diangkat novel tetralogi buru lainnya, buku kedua ini juga mengenalkan Tulisan sebagai kekuatan perubahan. Di belahan dunia manapun.
Setelah baca semua tetralogi pulau buru, aku makin gak ngerti kenapa buku ini sempat dilarang. Ada pula yang beri
Buku kedua, Tetralogi Pulau buru karya Pramudya Ananta Toer. Buku ini sekaligus buku terakhir yang kubaca tentang kisah Minke, alias Tirta Adi Surjo, yang pada tahun 2006 lalu akhirnya diakui dengan gelar pahlawan Nasional. Acak.Kisah di buku kedua ini menceritakan babak baru hidup Minke setelah ditinggal istrinya Annelies. Annelies yang patah hati, semakin lemah dan jatuh sakit dalam perjalanan dan akhirnya meninggal di negeri moyangnya Netherland. Jauh dari orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Murung.Juga cinta, sebagaimana halnya setiap benda dan hal, mempunyai bayang-bayang. Dan bayang-bayang cinta itu bernama derita. Tak ada satu hal pun tanpa bayang-bayang, kecuali terang itu sendiri.Minke tetap tinggal bersama mertuanya, Nyai Ontosoroh. Juga tak ingin hidup dalam bayang-bayang Nyai Ontosoroh yang selalu dikaguminya_perempuan pribumi yang mampu mandiri dan menghujat kolonialisme. Tapi selalu saja ada masalah yang menahan Minke untuk melanjutkan sekolahnya ke Batavia sebagai dokter. Agaknya semua bermuara pada upaya perampasan hasil jerih payah Nyai, dari keluarga almarhum Suaminya sekaligus pembunuh Annelies. Mereka terus berjuang mempertahankan haknya, sampai akhirnya hanya bisa mengandalkan lisan saja.Para sahabat Minke mengajaknya berkenalan dengan semangat pembaharuan selain eropa. Eropa yang selama ini satu-satunya tempat dia memandang, sebagai sebagai peradaban yang lebih tinggi mulai berhadapan oleh negara-negara di Asia yang berusaha menyaingi eropa.Adanya Pengakuan Belanda terhadap Jbangsa epang yang dianggap setara dengan bangsa Eropa. Geliat Cina yang ingin menjadi Republik, dan yang terdekat Philipina, dengan Jose Rizalnya kemudian menjadi negara Republik yang pertama di Asia.Seperti yang terekam dalam kata Khow Ah Soe_aktifis tionghoa yang terlunta-lunta demi cita-cita kaum muda bangsanya: "Kami harus serasikan Cina kami dengan kekuatan eropa, tanpa menjadi eropa. Seperti halnya dengan Jepang".Atau belajar dari Jepang, dalam sebuah seminar:Setiap orang Jepang yang meninggalkan negerinya, apakah dia kuli nenas di Hawaii, apakah dia koki kapal bangsa lain, apakah dia koki pada sebuah Mansion di San Fransisco, apakah dia pelacur di kota-kota besar di dunia, semua mereka adalah jantung dan hati bangsa Jepang, tidak bisa terpisahkan dari negerinya, leluhurnya dan bangsanya.Kelak mereka kembali ke negerinya, membangun Jepang setara dengan Eropa.Perubaahan bangsa-bangsa sekitar, membuat Minke terheran heran. Belajar dari peradaban yang bukan eropa, awalnya aneh, baru dan tak terbayangkan bisa terjadi. Bagaimana sistem kerajaan mulai ditinggalkan dan berganti dengan republik. Revolusi perancis sebagaimana di eropa juga terjadi di Asia. Dan bentuk pemerintahan baru dicapai dengan istilah asing yang baru didengarnya yaitu bernama Organisasi.Mungkin ini sebabnya, judul buku ini menjadi anak semua bangsa ya?Karena memang banyak pembelajaran dari negara selain eropa. Bagai bayi semua bangsa dari segala jaman, yang kemudian tumbuh. Dan kelak menjadi cikal bakal tumbuhnya nasionalisme di Indonesia.Karir menulis Minke semakin menanjak. Tak hanya berbahasa Belanda, dia juga ditantang menulis dalam bahasa Inggris. Tapi sahabat-sahabat terdekatnya justru mendesaknya menulis dalam bahasa yang dianggapnya rendah. Bahasa bangsanya, bukan bahasa Jawa, tapi bahasa Melayu. Bahasa tanpa kasta.Pada buku ketiga, kelak bahasa inilah yang dipilih menjadi alat perjuangan, alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Minke memperkuat bahasa melayu melalui surat kabar "Medan Prijaji"nya. Bahasa iniah yang jadi cikal bakal pemersatu dan lahirnya Indonesia. Andai Minke menggunakan bahasa Jawa, mungkin Indonesia pun tak pernah ada.Sebelum menulis dalam bahasa Melayu, Minke digugat untuk mengenal bangsanya sendiri. Baru saja hmulai menulis tentang bangsanya, Minke membongkar kekejaman kapitalis Industri Gula di Tulangan Sidoarjo. Praktek perampasan tanah rakyat!. Membuat bangsanya menjadi budak di tanah sendiri. Dan agaknya praktek ini masih juga tersisa hingga sekarang. Tak pemerintah, maupun pemilik modal. Dengan alasan pembangunan mencaplok hutan dan tanah rakyat, mengganti dengan tambang, jalan tol atau apalah. Hasilnya, rakyat tak juga sejahtera, makin miskin. Tapi yang pasti memperkaya pemilik modal.Pelajaran penting buat Minke yang akhirnya menyadari bahwa Surat kabar bisa memihak. Keberadaan surat kabar tempatnya bekerja ternyata untuk mengukuhkan kekuatan pemilik modal yang mendanai keberadaannya. Bangsanya harus membuat sendiri surat kabar yang menyuarakan kepentingan bangsanya.Agaknya aktifis saat ini perlu kembali menyadari kembali hal ini ditengah derasnya Media massa saat ini. Benarkah berpihak pada Rakyat?.Seperti tema yang juga diangkat novel tetralogi buru lainnya, buku kedua ini juga mengenalkan Tulisan sebagai kekuatan perubahan. Di belahan dunia manapun.Setelah baca semua tetralogi pulau buru, aku makin gak ngerti kenapa buku ini sempat dilarang. Ada pula yang beri
การแปล กรุณารอสักครู่..