Pagi ini seperti biasa, aku terbaring lemah di rumah sakit “Ibuku Sayang”. Setidaknya, hal ini tidak terlalu jauh berbeda dengan keadaanku selama kurang lebih empat hari ini, semenjak tubuh kurus keringku terserang oleh penyakit yang mungkin cukup ngeri didengar oleh orang awam, demam berdarah.
Jika ditarik garis lurusnya pun, aku sebenarnya tidak begitu tahu mengapa tiba-tiba aku mendapati penyakit sial dan terkutuk ini. Gara-gara penyakit ini, aku tertinggal semuanya. Entah itu kehidupan asmaraku, kuliahku, organisasiku, teman-temanku, juga berbagai rencana hidup yang sudah kubuat beberapa minggu terakhirku ini. Dan yang terparah, pekerjaanku! Padahal, di situ tersandar padaku akan kewajiban professional, yang untuk anak muda seusiaku seharunya kupikul dengan penuh tanggung jawab. Sungguh mengecewakan.
Setelah empat hari dan hanya sendirian di sini karena orang tua dan keluargaku sibuk mengurusi kehidupan mereka di dunia nyata untuk dapat membayar biaya rumah sakit yang mahal ini, jelas aku merasa bosan. Apalagi, tubuhku cukup lemas untuk sekedar jalan-jalan di area rumah sakit sekalipun. Alhasil, aku benar-benar hanya terkurung lemas di atas tempat tidur ini, dalam arti yang sebenar-benarnya. Bahkan, untuk sekedar buang air pun aku mesti mendapat bantuan dari para malaikat-malaikat wanita berbaju serba putih yang selalu ada untukku, setidaknya selama masih ada di rumah sakit ini.
Aku sendiri juga bukan merupakan keturunan anak kaya yang semua kebutuhannnya terpenuhi oleh kekayaan orang tuaku dan ditinggal pergi ke luar negeri setiap saat. Kami hanya orang biasa. Malah, justru aku yang pergi meninggalkan keluargaku untuk merantau ke kota gudeg Jogjakarta dalam rangka mencari ilmu. Yah, setidaknya itu sih niat awalku. Tapi ternyata begitu sampai di Jogja, aku malah lebih asik dengan kehidupan bersama-sama teman-teman baruku. Juga dengan organisasi kecil-kecilan yang cukup memberiku pengalaman dan penghasilan. Dan tentu saja dengan kehadiran seorang bidadari cantik nan mempesona yang akhirnya merebut hatiku. Meskipun dia belum kuliah dan masih dua tahun di bawahku umurnya. Namun aku rasa, dia adalah yang terbaik untukku.
Akan tetapi saat jatuh sakit seperti ini, aku ternyata tetap hanya dapat lari ke pangkuan ibuku dan menyerahkan hidupku yang sempat kurebut dari beliau ini. Dapat kulihat guratan kecemasan dari beliau saat melihat wajah pucat dan tak bertenagaku saat pertama menginjakkan kaki kurusku ke rumah pasca menderita penyakit ini.
Hingga akhirnya hadirlah aku di sini. Di sebuah ruang rumah sakit berisikan 6 bilik kamar untuk 6 pasien yang lumayan ribut juga ini. Dan walaupun aku lebih sering menutup bilik milikku, aku masih sempat melihat wajah-wajah pasien yang ada disekitarku. Dan seperti layaknya dunia yang beragam ini, mereka mempunyai keunikan sendiri-sendiri.
Pasien yang pertama adalah seorang laki-laki cukup muda. Mungkin sekitar berusia 30an. Aku tak tahu pasti apa penyakit yang dideritanya. Tapi apapun itu, aku rasa penyakitnya cukup parah hingga membuat dia tertahan untuk terus terbaring di kamar tidurnya dan terus mendapat bantuan dari keluarga dan kerabatnya untuk menjalankan aktivitasnya. Entah itu untuk buang air, makan, ataupun pindah tempat barang sejenak untuk membiarkan tempat tidurnya dirapikan. Tapi aku masih merasakan energy kehidupan yang cukup kuat dari matanya. Aku masih melihatnya. Aku sering melihatnya saat ruangan dibersihkan dan bilik terpaksa dibuka agar cahaya menjadi lebih masuk dipagi hari. Di saat itu, seringkali aku melihat beliau.
Pasien yang kedua juga cukup aneh. Dia jelas adalah seorang kakek-kakek tua yang sudah memiliki 6 orang anak yang sudah dewasa dan beberapa cucu. Mungkin beliau cukup pikun termakan usia. Tapi yang jelas, dari mendengar percakapannya dengan anak-anak yang menungguinya, dia adalah seorang figure yang dicintai keluarganya. Dan tentu saja, sangat kocak.
Pasien yang ketiga adalah seorang wanita kurus kering cukup ramah yang mungkin berusia cukup tua juga. Tapi aku kurang tahu apakah dia sudah memiliki suami atau belum. Karena selama di rumah sakit, yang menjaga dia adalah seorang perempuan lebih gemuk yang sudah bersuami. Aku tak tahu apa hubungan kekerabatannya, tapi yang jelas mereka sangat dekat. Aku tahu itu. Beliau berada di bilik tepat samping milikku dan beliau adalah yang paling sering mengajakkku bicara. Namun, sama seperti dengan sikapku terhadap semua orang di rumah sakit itu kecuali keluarga dan para perawat, aku menanggapinya dengan cukup dingin.
Pernah suatu ketika beliau bertanya padaku, “Pripun mas, sampun tambah sehat? Sampun dahar? Ibu ipun pundi?”, tanyanya dengan halus dan bertata krama tinggi.
Namun ternyata dengan mudahnya aku hanya menjawab, “sampun, mboten ngertos…”, jawabku tanpa basa-basi setitik pun. Namun, beliau tetap membalasnya dengan senyum. Aku hanya salah tingkah dan berballik arah.
Pasien yang keempat tak begitu mencolok. Dia seorang wanita muda dengan kepala yang dibalut dengan perban. Mungkin korban kecelakaan. Tapi hanya mungkin sih, aku tidak pernah menanyakan hal itu langsung padanya. Alasannya pun tidak jauh berbeda dengan alas an-alasan yang sebelumnya. Tapi masih ada satu aspek dari dirinya yang terlihat jelas di mataku, dia cantik….
Sangat cantik…..
Ingin sebenarnya bagiku untuk melukiskan kecantikannya dengan kata-kata yang puitis dan menyenangkan hati, tapi aku rasa itu tidak akan pernah cukup untuk menggambarkannya. Dia melebihi semua angan-anganku.
Pasien yang kelima, atau sebut saja yang terakhir, adalah seorang pria setengah baya juga. Aku sempat mendengarkan pembicaraan orang yang mengantarnya dengan pasien wanita yang ramah tadi. Rupanya, pasien pria itu sebenarnya adalah seorang asli Jakarta. “Iya bu, dia sebenarnya ke sini untuk maen ke tempat saya, bersendau gurau dengan para cucu-cucunya. Namun apa daya, dia malah jatuh sakit”, keluh sang pengantar pasien terakhir itu.
“Wah, semoga cepat sembuh ya mas, emang orang sakit tuh kayag geto, datangnya tiba-tiba banget… hhe”, balas sang pasien wanita ramah. Aku rasa mereka memang cukup hebat dalam hal berbasa-basi. Tidak seperti diriku yang cukup sangat tertutup.
***
Aku mencoba menikmati tiap lembar Koran yang disajikan untukku agar dapat mengetahui dunia ini. Tapi tetap saja, isinya tak lepas dari masalah politik tak penting yang isinya hanya memperlihatkan kebobrokan hukum Indonesia terhadap uang dunia. Memalukan. Walalupun aku juga tidak janji akan mampu menghadapinya jikalau aku juga menjadi seorang penegak hukum.
Aku masih menikmati koran itu hingga kulihat ada seorang laki-laki gagah dan ganteng datang. Oh iya, ini sudah masuk jam besuk ternyata, karena teman-temanku kebanyakan di Jogja, maka jam besuk terasa biasa bagiku.
Laki-laki itu ternyata mendatangi pasien cantik yang kubicarakan barusan. Dengan badannya yang tegap dan wajah seperti itu, aku merasa cukup yakin bahwa dia adalah pacar dari cewek itu. Apalagi dengan seikat bunga aster berwarna kuning di tangannya. Sudah jelas itu adalah lambang keromantisan dan kerinduannya terhadap pasien cewek itu. Aku hanya tersenyum sinis memandangnya. Bikin iri saja, seadainya saja Intan ada di sini….
Intan adalah nama cewekku. Dan dia adalah yang tercantik. Lebih cantik daripada pasien cewek itu. Lebih baik dari semua perawat di sini. Tapi yang jelas, tidak lebih pintar dariku saat ini, haha, semoga saja sih….
Namun, yang kulihat sekarang, justru adalah sebuah pemandangan yang tak kuduga sama sekali. Bunga aster berwarna kuning yang indah itu terlempar dan bercecer di lantai layaknya sampah yang siap disantap oleh kucing hitam vegetarian yang sedang tidak doyan untuk menyantap ikan. Dan satu kejutan lagi, tangan si pasien cewek dengan telak menerpa pipi kekar dari sang cowok parlente. PLAKK!! Kontan suara itu pun terdengar tanpa ada redaman suara dari tangan dan pipi mereka. Entah benar atau tidak, aku merasa semua orang diruangan itu melihat ke arah mereka. “Jahannam!! Pergi kau dari hadapanku lelaki berengsek! Pergi sana bersama lonte-lontemu yang lain! Aku sudah bukan mainanmu lagi yang bisa kau tipu setiap saat! PPERGIIII!!!!”, teriak wanita itu kuat-kuat. Cukup kuat untuk membuat sang cowok terpaku. Entah terpaku malu, kecewa, ataukah patah hati. Atau bisa juga karena merasa tak percaya kali ini rayuannya gagal.
Aku yang tadi sempat terpana dan terus melihat ke arah kejadian itu, kemudian memalingkan mukaku. Kuarahkan pandanganku kembali ke Koran yang kubaca tadi. Sambil menahan tawa di dalam hati, aku bergumam, “teryata, memang tidak semua yang terlihat ideal itu harus selalu jadi ideal.Mereka berdua sama-sama ganteng dan cantik, tapi tetap saja ada kekurangannya masing-masing. Sedang aku? Aku tidak terlalu ganteng, tapi cewekku cantik, idealkah itu? Yah… setidaknya sampai saat ini kami masih cukup langgeng. Cukup bagiku untuk mencintainya saja. Aku tak butuh yang lainnya, hehe….”.
Setelah hari ini cukup menikmati sebuah pertunjukkan yang sejujurnya tidak ingin aku lihat, ternyata aku mulai merasa ngantuk juga. Akhirnya, setelah melakukan ibadah shalat ‘isya dengan cara berbaring, aku memutuskan untuk tidur. Karena memang hanya itulah yang saat ini sanggup aku lakukan. Dan beginilah, lagi-lagi kuucapkan, SELAMAT MALAM DUNIA!
***
Pagi ini, kembali kubuka mataku. Shalat shubuh dengan cara tidur lagi. Dan aku kembali merenung dalam kebosanan yang pekat, gelap, dan tiada henti. Aku semakin tidak tahu apa yang harus kulakukan di tempat wangi, bersih, putih, namun memuakkan ini.
Dan seperti biasa, bilik perlahan dibuka untuk dirapikan oleh cleaning service pada tiap bagiannya. Dan alangkah kagetnya aku ketika melihat sudah ada dua bilik yang kosong. Di pojok selatan dekat pintu dan di sebelah utara tepat disampingku.
Yang tepat di sampingku adalah milik wanita kurus yang ramah kemarin. Sedang yang dipojok adalah tempat milik lelaki setengah baya yang kemarin tidak bisa berbuat apa-apa. Pikiranku pun mulai meraba-raba tentang apa yang terjadi. Ap