Seharusnya aku tak melakukan ini. Seharusnya, aku bahkan tak berniat untuk melakukan ini. Seharusnya, aku berdiam diri dan menikmati malam ini dengan melihat bulan yang selalu menemani malam sepiku. Namun, kakiku seolah bergerak sendiri. Kakiku seolah melawan kehendakku. Hingga akhirnya aku sampai di depan kamar Rizky, sahabatku yang juga merupakan tetangga kamarku. Aku tidak mau melakukan ini.
“Hai Rizky, kamu lagi apa?” Mulutku berkata tanpa kusuruh.
“Gag lagi ngapa-ngapain. Kenapa?” Balas Rizky datar. Aku tahu dia berbohong. Dia terus menatap layar laptop dengan serius. Aku tahu dia sedang sibuk dengan skripsinya yang bulan ini harus segera selesai. Aku tahu dia tak ada waktu untuk sekedar berbicara denganku. Sudah kubilang, aku seharusnya tidak melakukan ini.
“Boleh ngobrol gak?” Ahh, lagi-lagi mulutku bergerak sendiri.
“Ngobrol apa emang?” Mata Rizky masih menatap lurus ke layar. Sudah kubilang kan? Bahkan jika kau terus membangkang pada perintahku pun percuma, dia tidak akan mendengarkanmu, mulut bodoh!
“Ini tentang…” Cih, mulutku masih saja mencoba melawan dan membangkang.
“Tentang apa?” Rizky masih tak menatapku. Aku menang, mulut. Apapun yang coba kamu lakukan, dia tak akan mendengar. Haha!
“Bulan…” Aku berkata dengan desahan yang tidak biasa. Desahan yang menandakan keputus-asaan. Apa ini? Bukankah seharusnya aku pergi? Mengapa aku berkata dengan demikian pasrah?
Ajaib. Setelah mendengar nama Bulan, Rizky langsung berhenti mengetik. Dia tidak menatap layar laptop lagi. Dia menatapku!
“Lah, emang ada apa dengan Bulan? Duduk sini, cerita yang jelas!” Sialan! Mengapa kau justru mempersilakan aku?
Namun sekali lagi, tubuhku bergerak melawan kehendakku. Aku duduk dengan cepat. Terlalu cepat untuk membuatku menyadari bahwa aku sudah duduk bersandar di tembok dengan pose yang terlalu pasrah. Cukup! Berhentilah kalian mempermainkanku!
“Ada apa dengan Bulan?” Tanya Rizky dengan tatapan yang penuh perhatian. Dia memang teman terdekatku. Dia tahu hampir semua persoalan dalam hidupku. Ya, hampir. Dia tidak tahu sedikitpun mengenai hubunganku dengan Bulan. Atau jangan-jangan, memang hubunganku dengan Bulan itu tidak ada?
“Ini tentang kisahku dengan Bulan. Kisah yang tersimpan terlalu rapi dalam otakku. Kisah yang tak perlu ada.” Lagi, aku mengatakan hal yang bodoh.
“Hah? Kisahmu dengan Bulan? Aku bahkan tak tahu kalau kamu sedekat ini dengannya.” Balas Rizky sambil tertawa. Sinis.
Dia punya hak untuk mengatakan itu. Pada dasarnya, dialah yang mengenal Bulan. Bukan aku. Aku hanyalah sebuah tongkat estafet dalam kisah mereka. Namun, tongkat estafet itu telah berubah, menjelma sebagai sebuah tangan lain, yang siap untuk menggenggam rasa yang tak perlu ada.
***
Ini semua bermula ketika aku berkenalan dengan Bulan. Saat itu, dia sedang bertamu ke kamar Rizky. Ya ke kamar Rizky, bukan kamarku. Dia adalah teman Rizky. Teman yang dekat, mungkin terlalu dekat.
“Permisi Mas,” sapanya padaku.
Hari masih pagi, mungkin sekitar jam 7. Sebenarnya aku belum bisa dibilang sudah bangun, aku masih setengah tertidur. Hanya saja, karena aku harus menuruti urusan alamku, maka aku keluar kamar dan masuk ke kamar mandi. Dan di saat aku keluar kamar mandi itulah, dia memanggilku.
Dengan mata yang tidak begitu jelas, aku menghampirinya. “Ada apa mbak?”
“Rizkynya ada?”
“Sepertinya ada,”
“Kamarnya yang mana ya?”
Aku menunjuk ke kamarnya, “sepertinya dia masih tidur. Ada perlu apa?”
“Oh, enggak, saya ingin ketemu aja. Emm, minta tolong bangunin, boleh?”
Sepertinya orang ini tidak terlalu paham tentang adab bertamu. Kutanyai ada perlu apa, dia tidak menjawab dan malah minta tolong untuk membangunkan Rizky. Benar-benar tidak sopan.
Dengan malas dan terpaksa aku membangunkan Rizky. Awalnya dia malas, namun setelah kuberitahu yang mencarinya adalah wanita, dia mendadak terlihat bersemangat dan bertanya padaku, “namanya Bulan, bukan?”
“Mana kutau, aku belum berkenalan dengan dia.” Jawabku acuh. Tak mempedulikan reaksi Rizky yang seperti tersengat lebah saat mendengar kata ‘cewek’.
Tak puas dengan jawabanku, Rizky memilih untuk mengintip keluar. Dia melihat ke arah wanita itu. Lalu berkata, “iya itu Bulan, haha!”
Rizky mendadak bersemangat keluar dan mempersilakan Bulan duduk di kursi kotor kosan kita. Aku sempat mendengar dia pamit cuci muka dulu sama Bulan.
Merasa tugasku sudah selesai, aku putuskan untuk kembali ke kamar dan melanjutkan tidurku.
***
Sudah satu jam aku berusaha memejamkan mata. Namun suara obrolan Rizky dan wanita yang dipanggilnya Bulan itu terlalu sering masuk ke telingaku. Dan entah kenapa, sukses membuat rencanaku untuk tidur lagi terhambat. Sialan.
Merasa kesal dengan keadaan ini, aku putuskan untuk tidak melanjutkan tidurku. Aku memilih untuk mandi dan bersih-bersih. Aku mengambil kacamataku, kemudian bergegas menuju ke kamar mandi.
Saat itulah, untuk pertama kalinya aku melihat Bulan dengan jelas. Wajahnya cantik dan putih. Rambut lurusnya tergerai dengan indah dan sehat di pundak. Dia cantik. Pantas saja Rizky mendadak bersemangat saat akan menemuinya.
Setelah itu, tidak ada hal lain lagi yang perlu diceritakan.
***
Mas, bisa minta bantuan gak?
SMS dari Bulan. Aku nyengir saja membacanya. Semenjak kita berkenalan dan dia tahu kalau aku adalah teman kos Rizky yang cukup dekat, dia memang sering minta bantuanku. Entah itu untuk bertanya tentang kabar Rizky. Menemani dia belanja hadiah untuk Rizky, atau bahkan sekedar menyuruh untuk mengingatkan Rizky agar membalas smsnya. Ya, aku adalah semacam orang hina diantara Rizky dan Bulan.
Hubungan merekapun sebenarnya cukup aneh. Mereka tidak pacaran. Bulan bahkan memiliki kekasihnya sendiri. Namun, dia sangat perhatian pada Rizky yang jomblo. Terlalu perhatian malah.
Hubungan tidak jelas itu terjalin cukup lama. Mungkin hampir 3 bulan lamanya. Dan pada saat hubungan itu berlangsung, mau tak mau aku pun cukup mengenal Bulan. Walaupun dia hanya menghubungiku saat ingin meminta tolong tentang Rizky, bukan berarti kita tidak ngobrol layaknya seorang teman. Aku jadi tahu banyak tentang dia. Aku tahu bagaimana dia ternyata sangat mencintai pacarnya. Aku tahu dia yang suka membaca puisi-puisi Kahlil Gibran dan membaca cerita Dewi ‘dee’ Lestari. Aku bahkan tahu dia yang selalu kesulitan untuk mengingat sesuatu, sehingga kemudian dia membuat sebuah buku catatan kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana. Bisa dibilang, separuh otaknya ada di buku itu. Masih menjadi misteri bagiku, jika dia semudah itu lupa, bagaimana dia bisa tidak pernah lupa menaruh ‘setengah otak’nya itu.
Tunggu dulu kawan, kalian mungkin berpikir aku jatuh cinta dan suka pada Bulan gara-gara menjadi perantaranya dengan Rizky. Sayang sekali, kalian salah. Aku tidak sedikitpun jatuh cinta pada Bulan. Walaupun iya, dia cantik dan pandai merangkai kata-kata indah dalam puisinya. Namun saat itu aku sudah punya pacar yang sangat aku cintai. Aku cinta pacarku. Dan aku selalu bahagia bersamanya. Bulan? Dia tidak lebih seperti seorang teman saja. Tidak berbeda dengan puluhan teman-teman wanita lain yang sering kuajak bercerita tentang hidupnya.
Tidak ada yang spesial dari Bulan. Tidak ada.
***
Namun, hati kita memang mudah dibolak-balikkan oleh Yang Maha Kuasa. Perasaan cintaku pada pacar, mendadak luruh dan berangsur hilang. Hingga akhirnya kita sepakat untuk saling memanggil ‘mantan’. Ya, aku putus dengan pacarku. Segalanya berlalu dengan begitu cepat.
Putusnya aku dengan pacarku itu bukan lantas membuat aku bahagia. Rasa cintaku mungkin sudah luntur, tapi rasa kehilangan itu tetap ada. Rasa kangen itu seringkali muncul di malam hari, saat aku sendiri. Aku bahkan sering bermimpi tentang dia. Mimpi yang membuat aku takut tidur dan ingin segera bangun. Ya, mimpi tentang pacar telah membuat aku takut tidur. Dan di saat aku takut tidur, hal terbaik yang bisa kulakukan adalah menatap Bulan yang ada di langit. Entah mengapa, aku merasa tenang saat melihatnya.
Di sisi lain, hubungan Bulan dengan Rizky sudah tidak spesial lagi. Semenjak Rizky memiliki pacar, Bulan memilih untuk menjauh. Saat kutanya, dia bilang tidak ingin mengganggu hubungan Rizky, dan dia juga ingin semakin setia dengan pacarnya yang dosen itu.
Namun anehnya, setelah aku putus, Bulan jadi sering menghubungiku. Tidak secara langsung memang. Dia lebih sering memulai percakapan denganku melalui comment di status facebookku, atau mereply tweetku. Setelah itu, barulah biasanya aku atau dia mulai ber-smsan. Kali ini, obrolannya tidak ada sangkut pautnya dengan Rizky ataupun pacar Bulan. Obrolan kami berubah menjadi aku dan dia. Aku dan Bulan.
Dan percaya atau tidak, aku merasa dia menjadi orang yang paling mengerti aku. Dia bilang dia sudah pernah mengalami hal yang sama dengan yang kualami saat ini. Dia sering memberikan nasehat yang sebenarnya sudah kutahu. Namun nasehat-nasehat standar itu, terasa spesial saat keluar dari mulut Bulan.
Mendadak, aku merasa dia adalah wanita yang spesial. Aku suka dengan cara dia melukiskan rasa cintanya pada pacarnya. Aku suka dengan cara dia menghina aku (kami memang suka saling hina saat ngobrol). Aku suka cara dia membaca tulisan sastraku yang amatir. Aku suka dengan cara dia menjalin persahabatan dengan teman-teman wanitanya. Aku suka dengan senyumnya yang selalu meneduhkan jiwa. Aku suka dengan pemikirannya tentang pernikahan, hubungan laki-laki dan perempuan, juga tentang kesehatan, satu tema yang seharusnya dia sangat kuasai.
Pada akhirnya, aku tahu bahwa aku memang suka segalanya dari dia. Dia kini menjadi layaknya bulan di angkasa yang memberikanku kehangatan. Kini, aku tak perlu lagi takut pada mimpi di malam hari. Karena Bulan, adalah orang yang muncul di mimpiku saat ini.
Kini, dia sering datang ke kos untuk menemuiku. Iya, menemuiku, bukan Rizky! Bahkan, dalam beberapa kesempatan, Rizky bercerita padaku tentang Bulan yang selalu meminta bantuan padanya. Dan kalian tahu Bulan minta tolong apa pada Rizky? Ya, sama seperti