Aku memulai saat semuanya terasa beku. Entah karena aku terlalu berlebihan ataukah semuanya memang serba menuntutku. Aku melihat saat hiruk pikuk tak peduli, Aku memulainya. Semua berawal tanpa sekedar pagi. terlihat berbeda memang ketika formulasi keadaan dan kebiasaan ini berbanding terbalik. Menerjang egois dan seperti menginstall ulang semua program di fikiranku. Segalanya akan ku tulis mulai hari ini.
Skenario kehidupan yang tak akan pernah kita mengerti. Mengapa persegi tidak bulat? mengapa siang malam tidak bersamaan? bagaimana mungkin seekor anak ayam menetas dari telur yang keluar dari dirinya sendiri? jawaban dari pertanyaan yang sama sekali tidak masuk akal. Pertanyaan yang sama halnya dengan Mengapa aku bertemu kau?
Saat satu per satu elang mulai terbang beriringan… saat proses pengembunan selesai. Saat itu pula semu bayangan terlihat jelas, terik dan gerahnya segala suasana.
OSPEK
Momok abadi yang setiap mahasiswa hadapi. Rasa malas acap kali menginjak kampus, kampus baru ku. Metamorfosis yang seperti datang tiba tiba. Seuntai cerita yang berbatu di tempat ini, tak pernah ku gambar sketsa semua ini yang berjalan bak halilintar saat siang. Aku melihat jauh.. teropong yang tak pernah bohong membumbung arah sekian kali. Masih asing memang, namun jiwa mu seperti telah hadir lama. Entah itu di mimpiku ataukah khayalan samar samar ku yang terlalu kupaksa jelas. Sosok yang teramat arif, senyum yang meneduhkan. Hanya sesederhana itu, Kau.
Hari pertama ospek
Bangun tidur lebih awal dari biasanya dan harus kusiapkan segala macam atribut aneh yang akan ku pakai nanti. Tanpa berfikir lama untuk sarapan aku langsung berangkat menuju kampus. Dengan hati yang tidak tenang dan tergesa gesa.
Greeekkk… Gerbang kampus sudah ditutup. Salah satu senior yang menunggu di depan gerbang berdiri tegak dan siap menghukum siapapun yang terlambat. Dan aku salah satu di antara yang terkena hukuman hari ini.
“Kenapa kalian terlambat? Ini baru hari pertama masuk”
“Rumah saya jauh kak” jawab seseorang yang ada di barisan paling depan
“Mentang mentang rumah jauh terus terlambat? Alasan!” Gertak salah senior yang lain
Akhirnya kami pun dihukum di depan mahasiswa baru yang lain.
“Zahra, mana Topi mu?” Tanya seorang kakak tingkat yang berbadan gemuk agak tinggi itu
Astaga, Topi yang ku buat sampai larut malam lupa ku bawa
Apakah ini hanya kebetulan atau sebuah garis takdir yang datang tiba tiba?
Peristiwa kecil ini mengantarkan aku untuk sedikit saja mulai mengenalmu.
Aku dihukum dan ditugaskan mencari salah satu senior kampus ini. Ya, aku mencari nama yang baru pertama ku dengar, Lalu lalang mahasiswa baru dan senior membuatku kikuk mencari. Suara teriakan maba yang sedang dihukum makin membuat aku harus berulang kali menghela nafas. Dan akhirnya saat sosok yang tak kuduga muncul, gerakan kaki dengan langkah pasti berjalan di depan dengan Co Card Senior yang sama persis dengan nama yang ku cari. Kau…
Iqbal Aldian Ghifary. Nama yang untuk pertama kali ku ucap setelah berulang kali lubuk ini menerjemahkan mu. Nama yang tak pernah ku fikir akan menjadi berjuta kali lipat ku sebut dalam perjalanan ku. Nama yang mengukir semu bayang menjadi kenyataan nan indah.
Saat satu demi satu senior berlagak memukau di depan mahasiswa baru, bertingkah sesuka dirinya. Berbicara tanpa memahami betapa repotnya junior yang menghadapi. Tampak sosok yang tenang. Kesederhanaan yang membuatnya bagaikan putih di antara laut hitam. Kearifan yang menghiasi jiwa nya, dan ketulusan yang melengkapi nya.
Hari Kedua Ospek
“Setiap kelompok ospek wajib menampilkan inagurasi di acara puncak besok, Hari terakhir. Dan setiap kelompok akan di dampingi oleh satu panitia. Berikut saya bacakan nama nama yang menjadi pendamping” Jelas panitia ospek.
Dan tiba saat kelompokku disebutkan
“Kelompok edelweis akan di dampingi kak Iqbal Aldian Ghifary, Silahkan menuju tempat yang telah disediakan”
Deg, detak jantung ini seperti berhenti tiba tiba mendengar nama itu, Kau. Satu lagi Kebetulan datang yang semakin membuatku mengenalmu. Tak seperti merpati, semakin lama eloknya sepudar warna beribu cahaya yang membuatnya luntur. Setiap momen kecil yang tak ingin ku abaikan. Setiap berjalannya seperempat detik yang tak ingin ku lewatkan sia sia. Detak jantung yang terhitung cepat saat melihat mu. Aku sudah cukup dewasa, Ayah. Ijinkan rasa ini bergulir meski tak tau dimana akan bermuara.
Tiba saat Hari Terakhir ospek. Acara yang melelahkan, Wide Game. Aku harus berjalan berkilo kilo meter bersama maba yang lain. Di suguhi permainan yang tak sedikitpun mengasyikkan. Setiap permainan yang membuat muka dan badan kotor. Dan saat pos terakhir akan dilewati. Saat itu pula untuk ketiga kalinya aku melihatmu jelas. Nama yang lagi lagi kusebut dalam hati. Hanya akan mengagumi saat ikan koi lincah menyobek air. Saat sayap sayap langit tampak berterus terang tentang cerahnya hari ini. Semakin hilangnya gumpalan awan yang melukis seluruh biru. Dihiasi selarik warna putih yang kuharap adalah kau. Laksana muatan negatif yang membungkus inti atom semakin pekat semakin padat dan semakin pejal, seperti itulah layaknya nurani ini mengenalmu. Aku mengingat mu, apa kau mengingatku?
Hola Hoop
Permainan terakhir yang membuat tertawa, Untuk pertama kali nya permainan yang menyenangkan setelah 9 permainan terlewati. Padahal ini pos terakhir, Berarti di antara sekian pemainan hanya satu yang menarik bagi ku. Terlebih lagi saat sudah kembali ke area ospek. Panggung inagurasi yang telah berdiri di depan hall kampus membuat maba lega dan siap menampilkan inagurasi masing masing. Acara yang berlangsung menyenangkan, membuat hari terakhir ospek mengesankan. Namun tak sekejap pun aku melihat Kau…
25 September
Seminar nasional. Pukul 8 kurang 15 menit, aku tergesa gesa menyiapkan segala keperluanku sambil bergerak secepat mungkin dan melaju kendaraan dengan kecepatan kencang.
Aku berhenti di depan mall kota lalu melihat kanan kiri. Astaga aku tidak tau dimana seminar diadakan. Nama gedung yang masih asing di telingaku. Ponsel, Ya ponsel yang ku harap memberi info dan menolongku saat saat kritis ini. Moza teman yang pertama ku kenal saat di kampus, Dia membalas pesan singkat ku dan menunjukkan arah jalan menuju gedung.
Beberapa saat kemudian aku tiba di gedung. Moza masih setia menungguku di pintu masuk
“Cepat Ra, Seluruh dosen udah masuk”
Teriakan Moza yang membuat kaki ku gontai melangkah.
Lift menuju lantai 2
Aku dan Moza masuk dan ya Allah… Ia di depanku. Ia menatapku lalu tersenyum, Begitu sederhananya. Oksigen di dalam lift yang tiba tiba sejuk. Degup jantung yang mendadak lebih cepat. Segalanya terasa diputar dalam sebuah orkestra berisi nada dan iringan musik yang mendamaikan. Alunan di dalam lubuk ini yang bertuliskan puisi puisi indah.
Lift menuju lantai 2 sampai
Moza menyeretku agar berjalan lebih cepat. Kami jalan beriringan, Tanpa memedulikan samping kanan dan kiriku aku tak usai menatap nya dari belakang. Mengisi Absensi mahasiswa dan ia di sampingku ia menatapku kembali. Aku mencoba biasa dan hanya melihat dari bola mata yang tetap memandang buku absensi.
Ini kah sekelumit prolog dari cerita panjang? Yang menandai segala peristiwa sekilas saja? Namun makin ku tukas makin menjadi. Makin ku lupa makin teringat jelas.
Sebuah arloji yang tak bisa ku protes untuk berhenti. Rasa ini tak lagi benih, ia mulai tumbuh akar. Akar yang mulai menjalar ke permukaan tanah tempat ia berkembang. Yang mulai mencari unsur unsur hara untuk tumbuh. Meski ia tak pernah kusiram, Akar itu makin panjang dan makin kuat. aku bahkan ingin memangangnya di tengah mentari agar tak lagi hidup. Kau tau kenapa? Agar jiwa ini tak beradu di tengah pengharapan selain harapan harapan kepada-Nya. Agar rasa ini tak memberi kesempatan sedikitpun untuk dilukai. Namun rasa kagum pada mu yang mulai menjumput sendi sendi hati ku. Menorehkan sedikit sela di antara rimbun nya seluruh prasangka. Menopang seluruh rongga yang lama mencerca.
Angin malam lirih menyapa. Suara hati dingin mendera. Lupakan. Kata yang ku tulis besar besar di separuh otakku. Cukup seperti ini saja, cukup melihat air di tempatku berdiri tanpa harus mencari teratai untuk menutupi permukaan yang hampir menguap. Mengapa pula memilih lari saat ombak di dasar laut menyapu segala yang ingin dienyahkan. Tanpa mengambil secuil pun dari sebait kisah ini, Saat yang tepat memaknai perjalanan hidup ku yang teramat panjang.
3 tahun berisi kesibukan dan tak ada sedikit pun ruang untuk mencari mu. Bahkan untuk mengingat mu pun kadang aku tak ingin. Aku baru bergelar Ahli Madya, dan harus ku teruskan pendidikan ku. Akhirnya mulai saat itu juga ku tinggalkan kota dengan banyak kenangan manis dan pelajaran hidup itu. Mulai perlahan menutup kampus dengan banyak pengharapan dan merangkak menuju hari ku yang baru. Selamat tinggal kenangan indah, Semoga suatu saat aku kan mnemukan mu kembali…
2 tahun ku cicipi hawa perjalanan menuju Magister.
Saat banyak kebisingan yang menghalangi tiap ruas ruas jalan, Tiba saat nya Hari membahagiakan itu. Aku bergelar Magister dan dinobatkan sebagai mahasiswi coumlaude. Beberapa minggu kemudian aku bekerja di salah satu perusahaan obat di Kota ini.
—
“makan siang yuk Ra” Ajak Kenny kerabat kerja di tempat ku bekerja.
Terik mentari yang membakar titik titik kecil pada tiap orang yang berjalan. Mengepulnya asap asap kota yang membumbung dan berisiknya deru kendaraan yang lewat menemani makan siang kali ini. Meski aku berada di dalam ruangan, tetapi aktivitas kota terlihat jelas melalui kaca pembatas di lantai 2 ini. Apalagi posisi tempat makan ku dan kenny yang tepat di pojok dan bebas melihat segala pemandangan di bawah.
“Bentar Ra, biar aku pesen makanan dulu kamu tunggu disini ya”
Kata kenny dan hanya aku jawab dengan anggukan dan senyuman tipis.
Detik detik menunggu yang terasa berkali lipat lama dari waktu biasanya. Dengan memandang ke jendela dan menyaksikan seluruh hiruk pikuk yang seakan mencuat terus menerus. Tiba tiba terdengar sua