Keroncong Pembunuhanhampir malam di Yogyaketika keretaku tibaLagu kero การแปล - Keroncong Pembunuhanhampir malam di Yogyaketika keretaku tibaLagu kero ไทย วิธีการพูด

Keroncong Pembunuhanhampir malam di

Keroncong Pembunuhan
hampir malam di Yogya
ketika keretaku tiba
Lagu keroncong membuatku ngantuk, padahal malam ini aku harus membunuh seseorang. Orang-orang tua memang menyukai lagu keroncong, ini membuat mereka terkenang-kenang akan masa lalunya.
Mereka terserak di bawah sana, di sekitar kolam renang, tapi tampaknya tak banyak yang mendengarkan lagu keroncong itu dengan sungguh-sungguh. Mereka bercakap sendiri, riuh dan tawa sesekali pecah dari tiap kerumunan.
Tak semuanya tua memang, bahkan banyak wanita muda. Paling tidak itulah yang menarik perhatianku. Lewat teleskop pada senapan ini, aku memperhatikan mereka satu per satu, seolah-olah aku berada di antara mereka. Sebuah pesta yang meriah. Ada kambing-guling. Hmmm…

Garis silang pada teleskop itu terus saja bergerak. Sesekali berhenti pada dahi seseorang, dan mengikutinya. Kalau kutekankan telunjukku, tak pelak lagi dahi itu akan berlubang. Dan tubuh orang itu akan roboh. Bisa roboh perlahan-lahan seperti pohon ditebang, bisa pula tersentak dan mengacaukan kerumunan orang yang sedang tertawa-tawa itu, menumpahkan gelas pada nampang yang dibawa pelayan. Tentu lebih menarik lagi kalau tubuh itu terpental ke kolam renang dengan suara bergedebur sehingga airnya muncrat membasahi pakaian para tamu dan kolam renang itu segera berwarna merah karena darah dan wanita-wanita berteriak: “Auuww!”


Tapi aku belum menemukan orang yang mesti kubunuh. Memang belum waktunya. Ia akan datang sebentar lagi. Dan sebetulnya aku pun tak perlu terlalu repot mencarinya karena pesawat komunikasi yang terpasang pada telingaku siap menunjukkan orangnya.
“Kamu sudah siap?” terdengar suara pada headphone itu, sebuah suara yang merdu.
“Dari tadi aku sudah siap, yang mana orangnya?”
“Sabar dong, sebentar lagi.”
Dari teras lantai 7 hotel ini, aku masih mengintip lewat teleskop. Angin laut yang basah terasa asin di bibirku. Iseng-iseng sambil menunggu sasaran, aku mencari orang yang berbicara padaku. Dan aku melihat wajah-wajah pada teleskop. Para wanita dengan pakaian malam yang anggun. Ada yang punggungnya terbuka. Cantik sekali. Aku tak mengira seorang wanita akan terlibat dalam pembunuhan seperti ini.
“Siapa sasaranku?” tanyaku minggu lalu, ketika dia memesan penembakan ini. Dilakukan lewat telepon seperti itu, tentu wajahnya hanya bisa kukira-kira saja.
“Kau tidak perlu tahu, ini bagian dari kontrak kita.”
Kontrak semacam ini memang sering terjadi. Aku dibayar untuk menembak, siapa yang jadi sasaran bukan urusanku.

“Tapi satu hal kau boleh tahu.”
“Apa?”
“Orang itu pengkhianat.”
“Pengkhianat?”
“Ya, pengkhianat bangsa dan negara.”
Jadi, sasaranku adalah seorang pengkhianat bangsa dan negara. Apakah aku termasuk pahlawan jika menembaknya? Kugerakkan lagi senapanku. Dari balik teleskop kuteliti orang-orang yang makin banyak saja berdatangan. Ada sesuatu yang terasa kurang enak setiap kali aku menatap wajah orang-orang di bawah itu.
Memang wajah mereka adalah wajah orang baik-baik, tapi entahlah apa yang kurang enak di sana. Apakah karena banyak yang memakai baju resmi, seragam yang kubenci? Ataukah karena perasaanku saja. Namun sungguh mati, aku akan sangat berbahagia kalau korbanku kali ini adalah seseorang yang memuakkan.
Kuedarkan lagi senapanku. Mengintip kelakuan orang tanpa diketahui rasanya menyenangkan.
sepasang mata bola
dari balik jendela
Belum habis juga lagu keroncong itu. Rasanya lama sekali. Seperti juga orang-orang di bawah sana, aku tak perlu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Musik keroncong sekarang ini seperti benda museum, para senimannya kurang jenius untuk membuatnya lebih berkembang. Di manakah wanita yang bersuara lembut itu?

Di mana-mana orang mengunyah makanan, menyeruput minuman, tersenyum dan tertawa. Ada ibu-ibu berdiri dengan kaku di samping suaminya yang sibuk bicara dengan tangan bergerak-gerak ke segala penjuru. Bapak-bapak yang dari wajahnya tampak berjiwa pegawai, menyembunyikan diri dengan sopan, tapi makan banyak-banyak. Tampak pula petugas berpakaian preman mondar-mandir membawa walkie-talkie. Agaknya pesta kambing-guling pada tepi kolam renang dalam sebuah hotel di tepi pantai ini dihadiri orang-orang penting.
Malam cerah dan langit penuh bintang. Bahkan bulan pun sedang purnama. Kuletakkan senapanku karena pegal. Aku berjalan ke dalam kamar, mengambil kacang dari meja. Kupasang televisi, tapi segera kumatikan lagi. Acara televisi selalu buruk. Sunyi sekali rasanya kamar hotel ini. Aku ingin buru-buru menembak sasaranku, lantas pulang dan minum segelas bir.
“Hei, kamu masih di situ?” tiba-tiba terdengar lagi suara itu.
“Ya, kenapa?”
“Jangan main-main! Aku tahu kamu tidak di tempat!”
Aku bergegas kembali ke teras.
“Bagaimana? Sudah datang orangnya?”
“Dia memakai baju batik merah, kebetulan satu-satunya yang merah di sini, jadi enak untuk kamu.”

Kulihat ke bawah, mereka seperti kerumunan makhluk-makhluk kecil, tentu tak terlalu jelas mana yang berbaju batik merah dari lantai 7 seperti ini. Kuangkat kembali senapanku. Kucari posisi yang enak. Sambil mengunyah kacang aku mengintip kembali lewat teleskop. Garis silang itu kembali beredar dari wajah ke wajah. Mereka masih tertawa-tawa dan tersenyum-senyum. Aku juga tersenyum. Sebentar lagi wajahmu akan ketakutan tanpa tahu malu. Tapi aku tidak melakukan itu. Aku hanya bekerja berdasarkan kontrak.
“Di sebelah mana dia?” tanyaku lewat mike yang tergantung di bawah daguku.
“Dia di sudut kolam renang sebelah selatan, dekat payung hijau.”
Kugeserkan senapanku ke kanan. Kulewati lagi wajah-wajah berlemak, klimis, dan gemerlapan. Wanita-wanita cantik terpaksa kulewati begitu saja. Dan, nah, itu dia, seorang lelaki yang mamakai baju batik berwarna merah.
Wajahnya tampan dan berwibawa. Ia sudah setengah umur tapi tak tampak telah uzur. Rambutnya disisr rapi ke belakang. Ia tak banyak tertawa dan tersenyum. Orang-orang mengerumuninya dengan hormat. Ada juga yang berwajah menjilat. Garis silang pada teleskopku berhenti tepat di antara kedua matanya.

“Apakah harus kulakukan sekarang?”
“Nanti dulu, tunggu komando!”
Dan aku mengamati wajah itu. Adakah ia mempunyai firasat? Dari balik teleskop ini, wajah-wajah memunculkan pesonanya sendiri, yang berbeda dibanding dengan bila kita berhadapan langsung dengan orangnya. Ia tak banyak bicara, namun tampaknya ia harus menjawab banyak pertanyaan. Dan aku merasa bahwa ia sangat hati-hati menjawab. Wajahnya menunjukkan niat bersopan santun yang tidak menyebalkan. Apakah yang akan terjadi kalau ia kutembak mati? Aku teringat kematian Ninoy di Filipina….
Tapi aku tidak tahu politik. Jadi, sambil menatap wajah yang akan berlubang itu, aku berpikir tentang yang lain. Mungkin ia punya istri, punya anak. Bahkan kupikir ia pun pantas punya cucu. Mereka akan bertangisan setelah mendengar kematian orang ini, dan tangis itu akan makin menjadi-jadi ketika mengetahui cara kematiannya. Biar saja. Bukankah ia seorang pengkhianat bangsa dan negara? Ia pantas mendapatkan hukumannya.
Agak tegang juga aku menunggu perintah menembak. Itulah repotnya selalu bekerja berdasarkan kontrak. Tidak bisa seenaknya sendiri. Aku dibayar untuk mengarahkan garis silang teleskop senapanku pada tempat yang paling mematikan, untuk kemudian menekan pelatuknya. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak membunuh orang, aku hanya membidik dan menekan pelatuk.

Kutatap lagi wajah itu, rasanya begitu dekat, bahkan pori-porinya terlihat dengan jelas. Aku bagaikan menatap bayang-bayang takdir. Siapakah sebenarnya yang menghentikan kehidupan orang itu, akukah atau Kamu? Orang itu tak sadar sama sekali kalau malaikan maut telah mengelus-elus tengkuknya.
“Bagaimana? Sekarang?”
“Aku bilang tunggu perintah!”
Sialan cewek itu, berani benar membentak-bentak seorang pembunuh bayaran. Tanganku tiba-tiba bergerak sendiri menggeser senapan itu. Dengan indra keenam ia kucari di antara kerumunan orang banyak. Wajah-wajah cantik silih berganti mengisi teleskopku. Aku harus memancing dia bicara.
“Tunggu perintah apa lagi?”
“Kau tak perlu tahu, pokoknya tunggu!”
“Ini tidak ada dalam perjanjian.”
“Ada! Kamu jangan main gila.”
selendang sutra
tanda mata darimu

Busyet! Lagu keroncong itu lagi, jelas sekali di telingaku. Pasti ia berada di dekat orkes. Kucari-cari sekitar orkes. Teleskopku sempat mampir di dada penyanyi keroncong yang membusung itu. Ada beberapa kerumunan. Di telingaku juga berdentang bunyi gelas dan piring. Ia mungkin di belakang orkes, dekat meja prasmanan. Ada beberapa wanita, dan petugas-petugas berpakaian preman. Yang mana? Aku meneliti mereka satu per satu. Beberapa di antaranya jelas cuma pegawai perusahaan catering. Ada satu wanita bertampang juragan. Mungkin satunya lagi. Rambutnya lurus dan hitam dengan poni menutup dahinya. Matanya menatap tajam ke arah si baju batik merah!
“Tembaklah dia sekarang,” ujarnya pelan dalam headphone-ku, dan kulihat dari teleskop dia memang berkata-kata sendiri. Rupanya betul dia. Ia mendengar lewat giwang dan berbicara padaku lewat mikrofon yang tersembunyi dalam leontin kalungnya. Leontin yang indah, terpajang di dadanya yang tipis.
“Apa?” tanyaku lagi, karena ingin meyakinkan, memang dia orangnya.
“Tembak sekarang!”
Jadi seperti inilah semua pembunuhan itu berlangsung. Mata rantai tanpa ujung dan pangkal. Wanita ini tentu hanya salah satu mata rantai. Kualihkan senapanku kembali pada sasaran. Lelaki setengah tua itu sedang mendengarkan cerita seseorang di hadapannya dengan sabar. Orang yang bercerita itu tampak berapi-api, namun lelaki itu kelihatannya menahan diri untuk tidak ikut terbakar. Ia mengangguk-angguk sambil mencuri pandang ke sekelilingnya. Seperti khawatir ada yang mendengar.

Aku sudah siap menembak. Satu tekanan telunjuk akan mengakhiri riwayat lelaki itu. Garis silang pada teleskop kugeser agak ke samping, supaya lubang peluru pada kepalanya tidak membuat pembagian yang terlalu simetris. Peluruku akan menembus mata kirinya. Dan aku menatap ma
0/5000
จาก: -
เป็น: -
ผลลัพธ์ (ไทย) 1: [สำเนา]
คัดลอก!
ฆาตกรรม Kroncongในเกือบทุกคืนเมื่อการมาถึงของ keretakuเพลง Kroncong ทำให้ฉันง่วงนอน แต่คืนนี้ผมจะต้องฆ่าคน คนเก่าเป็นเพลงรักในการ Kroncong นี้ทำให้ terkenang kenang จะเป็นอดีตของเขา พวกเขากระจายอยู่ใต้นั่น รอบสระว่ายน้ำ แต่ดูเหมือนมีไม่มากฟังเพลง Kroncong ที่ในมันอย่างจริงจัง พวกเขาพูดเสียงหัวเราะของตัวเอง เป็นครั้งคราว และอึกทึกยากจนจากฝูงชน ไม่มีเก่าจริง ๆ แม้แต่เกินวัย อย่างน้อยที่จะมีอะไรน่าตื่นเต้น perhatianku ผ่านกล้องโทรทรรศน์บนปืนนี้ ผมสังเกตหนึ่ง ว่าฉันในหมู่พวกเขา งานเลี้ยง มีแพะเลื่อน อืม... ข้ามบรรทัดบนกล้องโทรทรรศน์มันต่อไป การเป็นครั้งคราวหยุดบนหน้าผากของคน และตามเขา ถ้า kutekankan telunjukku ย่อมหน้าผากมันจะกลวง และร่างกายของคนกำลังจะยุบ อาจตกช้าลงเช่นต้นไม้โค่น สามารถยังจะขายกล้อง และเลอะจากฝูงชนที่มี snickering หกแก้วบนบริกรที่มา nampang น่าสนใจมากขึ้นอย่างแน่นอนอีกถ้าร่างกายนั้นกระเด็นไปสระว่ายน้ำกับพุ่งพรวดเป็นน้ำ ดังนั้น bergedebur เสียงเต็มผ้าแขก และสระว่ายน้ำที่เร็วเป็นสีแดงเนื่องจากเลือด และผู้หญิงตะโกน: "Auuww " แต่ผมยังไม่ได้หาคนที่ต้องฆ่า เวลายังไม่แน่นอน เขาจะมาในไม่ช้า และจริง ๆ แล้ว ฉันไม่ต้องยุ่งยากเกินไปเนื่องจากการสื่อสารของเครื่องบินที่แนบกับหูของฉันพร้อมที่จะแสดงศักยภาพ "คุณพร้อมหรือไม่" เสียงหูฟัง เสียงไพเราะ"จาก ฉันจัดทำ ซึ่งคน? ""รอ เร็ว ๆ นี้"ลานระเบียงชั้น 7 ของโรงแรมนี้โรงแรม ฉันถูกทุกทีผ่านกล้อง สายลมทะเลเปียกรู้สึกเค็มในปาก แฟชั่นขณะรอเป้าหมาย หาคนพูดคุยกับผม และฉันเห็นใบหน้าบนกล้องโทรทรรศน์ หญิงกับชุดราตรีที่ซับซ้อน บางคนกลับเปิดอยู่ สวยงามทั้งหมด ผมไม่คิดว่า ผู้หญิงจะมีส่วนร่วมในการฆาตกรรมเช่นนี้ "ที่ sasaranku ? " ผมบอกว่า สัปดาห์สุดท้าย เมื่อเขาสั่งถ่ายภาพ ทำทางโทรศัพท์เช่นนั้น แน่นอนว่าใบหน้าของเธออาจเท่านั้นฉันคิดเกี่ยวกับมัน"คุณไม่จำเป็นต้องรู้ นี้เป็นส่วนหนึ่งของสัญญาของเรา"สัญญาชนิดนี้แน่นอนมักจะเป็นกรณี ฉันจ่ายเงินสำหรับการถ่ายภาพ ที่เป็นเป้าหมายไม่มีการทำ "แต่สิ่งหนึ่งที่คุณควรรู้""อะไร""คนเป็นขบถ""ขบถ""ใช่ ขบถของประเทศและรัฐ"Jadi, sasaranku adalah seorang pengkhianat bangsa dan negara. Apakah aku termasuk pahlawan jika menembaknya? Kugerakkan lagi senapanku. Dari balik teleskop kuteliti orang-orang yang makin banyak saja berdatangan. Ada sesuatu yang terasa kurang enak setiap kali aku menatap wajah orang-orang di bawah itu. Memang wajah mereka adalah wajah orang baik-baik, tapi entahlah apa yang kurang enak di sana. Apakah karena banyak yang memakai baju resmi, seragam yang kubenci? Ataukah karena perasaanku saja. Namun sungguh mati, aku akan sangat berbahagia kalau korbanku kali ini adalah seseorang yang memuakkan. Kuedarkan lagi senapanku. Mengintip kelakuan orang tanpa diketahui rasanya menyenangkan.sepasang mata boladari balik jendelaBelum habis juga lagu keroncong itu. Rasanya lama sekali. Seperti juga orang-orang di bawah sana, aku tak perlu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Musik keroncong sekarang ini seperti benda museum, para senimannya kurang jenius untuk membuatnya lebih berkembang. Di manakah wanita yang bersuara lembut itu? Di mana-mana orang mengunyah makanan, menyeruput minuman, tersenyum dan tertawa. Ada ibu-ibu berdiri dengan kaku di samping suaminya yang sibuk bicara dengan tangan bergerak-gerak ke segala penjuru. Bapak-bapak yang dari wajahnya tampak berjiwa pegawai, menyembunyikan diri dengan sopan, tapi makan banyak-banyak. Tampak pula petugas berpakaian preman mondar-mandir membawa walkie-talkie. Agaknya pesta kambing-guling pada tepi kolam renang dalam sebuah hotel di tepi pantai ini dihadiri orang-orang penting.Malam cerah dan langit penuh bintang. Bahkan bulan pun sedang purnama. Kuletakkan senapanku karena pegal. Aku berjalan ke dalam kamar, mengambil kacang dari meja. Kupasang televisi, tapi segera kumatikan lagi. Acara televisi selalu buruk. Sunyi sekali rasanya kamar hotel ini. Aku ingin buru-buru menembak sasaranku, lantas pulang dan minum segelas bir. “Hei, kamu masih di situ?” tiba-tiba terdengar lagi suara itu.“Ya, kenapa?”“Jangan main-main! Aku tahu kamu tidak di tempat!”Aku bergegas kembali ke teras.“Bagaimana? Sudah datang orangnya?”“Dia memakai baju batik merah, kebetulan satu-satunya yang merah di sini, jadi enak untuk kamu.” Kulihat ke bawah, mereka seperti kerumunan makhluk-makhluk kecil, tentu tak terlalu jelas mana yang berbaju batik merah dari lantai 7 seperti ini. Kuangkat kembali senapanku. Kucari posisi yang enak. Sambil mengunyah kacang aku mengintip kembali lewat teleskop. Garis silang itu kembali beredar dari wajah ke wajah. Mereka masih tertawa-tawa dan tersenyum-senyum. Aku juga tersenyum. Sebentar lagi wajahmu akan ketakutan tanpa tahu malu. Tapi aku tidak melakukan itu. Aku hanya bekerja berdasarkan kontrak. “Di sebelah mana dia?” tanyaku lewat mike yang tergantung di bawah daguku.“Dia di sudut kolam renang sebelah selatan, dekat payung hijau.”Kugeserkan senapanku ke kanan. Kulewati lagi wajah-wajah berlemak, klimis, dan gemerlapan. Wanita-wanita cantik terpaksa kulewati begitu saja. Dan, nah, itu dia, seorang lelaki yang mamakai baju batik berwarna merah.Wajahnya tampan dan berwibawa. Ia sudah setengah umur tapi tak tampak telah uzur. Rambutnya disisr rapi ke belakang. Ia tak banyak tertawa dan tersenyum. Orang-orang mengerumuninya dengan hormat. Ada juga yang berwajah menjilat. Garis silang pada teleskopku berhenti tepat di antara kedua matanya. “Apakah harus kulakukan sekarang?” “Nanti dulu, tunggu komando!” Dan aku mengamati wajah itu. Adakah ia mempunyai firasat? Dari balik teleskop ini, wajah-wajah memunculkan pesonanya sendiri, yang berbeda dibanding dengan bila kita berhadapan langsung dengan orangnya. Ia tak banyak bicara, namun tampaknya ia harus menjawab banyak pertanyaan. Dan aku merasa bahwa ia sangat hati-hati menjawab. Wajahnya menunjukkan niat bersopan santun yang tidak menyebalkan. Apakah yang akan terjadi kalau ia kutembak mati? Aku teringat kematian Ninoy di Filipina….Tapi aku tidak tahu politik. Jadi, sambil menatap wajah yang akan berlubang itu, aku berpikir tentang yang lain. Mungkin ia punya istri, punya anak. Bahkan kupikir ia pun pantas punya cucu. Mereka akan bertangisan setelah mendengar kematian orang ini, dan tangis itu akan makin menjadi-jadi ketika mengetahui cara kematiannya. Biar saja. Bukankah ia seorang pengkhianat bangsa dan negara? Ia pantas mendapatkan hukumannya. Agak tegang juga aku menunggu perintah menembak. Itulah repotnya selalu bekerja berdasarkan kontrak. Tidak bisa seenaknya sendiri. Aku dibayar untuk mengarahkan garis silang teleskop senapanku pada tempat yang paling mematikan, untuk kemudian menekan pelatuknya. Aku selalu mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidak membunuh orang, aku hanya membidik dan menekan pelatuk.
Kutatap lagi wajah itu, rasanya begitu dekat, bahkan pori-porinya terlihat dengan jelas. Aku bagaikan menatap bayang-bayang takdir. Siapakah sebenarnya yang menghentikan kehidupan orang itu, akukah atau Kamu? Orang itu tak sadar sama sekali kalau malaikan maut telah mengelus-elus tengkuknya.
“Bagaimana? Sekarang?”
“Aku bilang tunggu perintah!”
Sialan cewek itu, berani benar membentak-bentak seorang pembunuh bayaran. Tanganku tiba-tiba bergerak sendiri menggeser senapan itu. Dengan indra keenam ia kucari di antara kerumunan orang banyak. Wajah-wajah cantik silih berganti mengisi teleskopku. Aku harus memancing dia bicara.
“Tunggu perintah apa lagi?”
“Kau tak perlu tahu, pokoknya tunggu!”
“Ini tidak ada dalam perjanjian.”
“Ada! Kamu jangan main gila.”
selendang sutra
tanda mata darimu

Busyet! Lagu keroncong itu lagi, jelas sekali di telingaku. Pasti ia berada di dekat orkes. Kucari-cari sekitar orkes. Teleskopku sempat mampir di dada penyanyi keroncong yang membusung itu. Ada beberapa kerumunan. Di telingaku juga berdentang bunyi gelas dan piring. Ia mungkin di belakang orkes, dekat meja prasmanan. Ada beberapa wanita, dan petugas-petugas berpakaian preman. Yang mana? Aku meneliti mereka satu per satu. Beberapa di antaranya jelas cuma pegawai perusahaan catering. Ada satu wanita bertampang juragan. Mungkin satunya lagi. Rambutnya lurus dan hitam dengan poni menutup dahinya. Matanya menatap tajam ke arah si baju batik merah!
“Tembaklah dia sekarang,” ujarnya pelan dalam headphone-ku, dan kulihat dari teleskop dia memang berkata-kata sendiri. Rupanya betul dia. Ia mendengar lewat giwang dan berbicara padaku lewat mikrofon yang tersembunyi dalam leontin kalungnya. Leontin yang indah, terpajang di dadanya yang tipis.
“Apa?” tanyaku lagi, karena ingin meyakinkan, memang dia orangnya.
“Tembak sekarang!”
Jadi seperti inilah semua pembunuhan itu berlangsung. Mata rantai tanpa ujung dan pangkal. Wanita ini tentu hanya salah satu mata rantai. Kualihkan senapanku kembali pada sasaran. Lelaki setengah tua itu sedang mendengarkan cerita seseorang di hadapannya dengan sabar. Orang yang bercerita itu tampak berapi-api, namun lelaki itu kelihatannya menahan diri untuk tidak ikut terbakar. Ia mengangguk-angguk sambil mencuri pandang ke sekelilingnya. Seperti khawatir ada yang mendengar.

Aku sudah siap menembak. Satu tekanan telunjuk akan mengakhiri riwayat lelaki itu. Garis silang pada teleskop kugeser agak ke samping, supaya lubang peluru pada kepalanya tidak membuat pembagian yang terlalu simetris. Peluruku akan menembus mata kirinya. Dan aku menatap ma
การแปล กรุณารอสักครู่..
 
ภาษาอื่น ๆ
การสนับสนุนเครื่องมือแปลภาษา: กรีก, กันนาดา, กาลิเชียน, คลิงออน, คอร์สิกา, คาซัค, คาตาลัน, คินยารวันดา, คีร์กิซ, คุชราต, จอร์เจีย, จีน, จีนดั้งเดิม, ชวา, ชิเชวา, ซามัว, ซีบัวโน, ซุนดา, ซูลู, ญี่ปุ่น, ดัตช์, ตรวจหาภาษา, ตุรกี, ทมิฬ, ทาจิก, ทาทาร์, นอร์เวย์, บอสเนีย, บัลแกเรีย, บาสก์, ปัญจาป, ฝรั่งเศส, พาชตู, ฟริเชียน, ฟินแลนด์, ฟิลิปปินส์, ภาษาอินโดนีเซี, มองโกเลีย, มัลทีส, มาซีโดเนีย, มาราฐี, มาลากาซี, มาลายาลัม, มาเลย์, ม้ง, ยิดดิช, ยูเครน, รัสเซีย, ละติน, ลักเซมเบิร์ก, ลัตเวีย, ลาว, ลิทัวเนีย, สวาฮิลี, สวีเดน, สิงหล, สินธี, สเปน, สโลวัก, สโลวีเนีย, อังกฤษ, อัมฮาริก, อาร์เซอร์ไบจัน, อาร์เมเนีย, อาหรับ, อิกโบ, อิตาลี, อุยกูร์, อุสเบกิสถาน, อูรดู, ฮังการี, ฮัวซา, ฮาวาย, ฮินดี, ฮีบรู, เกลิกสกอต, เกาหลี, เขมร, เคิร์ด, เช็ก, เซอร์เบียน, เซโซโท, เดนมาร์ก, เตลูกู, เติร์กเมน, เนปาล, เบงกอล, เบลารุส, เปอร์เซีย, เมารี, เมียนมา (พม่า), เยอรมัน, เวลส์, เวียดนาม, เอสเปอแรนโต, เอสโทเนีย, เฮติครีโอล, แอฟริกา, แอลเบเนีย, โคซา, โครเอเชีย, โชนา, โซมาลี, โปรตุเกส, โปแลนด์, โยรูบา, โรมาเนีย, โอเดีย (โอริยา), ไทย, ไอซ์แลนด์, ไอร์แลนด์, การแปลภาษา.

Copyright ©2024 I Love Translation. All reserved.

E-mail: