Alun-alun Tugu dan Balai Kota Malang
PARKIR UMUM. Tulisan ini jelas terpampang di depan kompleks SMA 1 dan 4 Kota Malang. Dibuat khusus bagi pengunjung umum. Termasuk saya. Bersanding dengan kendaraan-kendaraan yang pemiliknya memiliki urusan langsung dengan kedua sekolah tersebut. Juga kadang-kadang bersanding dengan gerobak bakso atau pentol cilok.
Baru saja saya membuka helm dan hendak menaruhnya di atas spion kanan. Datang seorang juru parkir yang setia “bertugas” di sini. Juru parkir paruh baya yang sangat semangat. Menghampiri saya dan menjelaskan “prosedur” parkir di area “PARKIR UMUM” ini.
“Mas, gak usah dikunci setir, yo? Ojo lali engko ditunjukno STNK-ne.”
“Nggih, Pak.”
Lelaki si juru parkir itu menuliskan nomor polisi motor saya pada secarik kertas kuning. Gesit.
“Iki Mas karcise, ojo sampe ilang!”
Saya hanya mengangguk. Sembari menerima selembar karcis kuning tersebut dan menyelipkannya ke dalam saku celana, masuk bersamaan dengan kunci motor saya.
Saya berjalan ke arah selatan. Menjauhi “PARKIR UMUM”. Berjalan menyeberangi Jalan Tugu. Namun tidak melihat ke depan, tetapi menengok ke kanan. Memastikan ada celah aman dari “serbuan” lalu-lalang kendaraan bermotor berupa-rupa. Terus terang, paling sulit menyeberang dengan keberadaan sepeda motor nyaris di semua lajur. Di sini, sesekali pejalan kaki harus mengalah. Bahkan kadang sesekali pula dihujat, “Lihat-lihat dong kalau mau nyeberang!”. Hanya bisa mengelus-elus dada, padahal sudah berjalan sangat perlahan. Sambil menodongkan telapak tangan untuk meminta kendaraan berjalan perlahan atau berhenti.
Akhirnya sisi luar alun-alun tugu saya pijak. Lalu memiringkan tubuh di sela-sela tiang besi setinggi perut. Bukan tanpa tujuan penempatan tiang-tiang besi di lima pintu masuk alun-alun tugu. Ya, tak lain supaya tak ada orang usil memasukkan motor atau sepeda mereka ke dalam taman. Cukuplah taman ini dinikmati orang-orang yang ingin berjalan santai. Dan juga bagi orang-orang atau keluarga yang ingin berekreasi secara sederhana, pada pagi dan sore. Murah meriah.
Saat berada di dalam taman alun-alun tugu, saya bagaikan titik pusat. Terlindung dengan pagar yang memutar, saya aman dari lalu-lalang kendaraan. Untuk sejenak, saya bebas dari kepadatan lalu lintas yang mengelilingi bundaran ini.
Tugu berwarna kehitaman itu menjadi pusat perhatian. Monumen penuh filosofi itu berdiri kokoh dikelilingi kolam air dengan bunga-bunga teratai ungu di atasnya. Keseluruhan kombinasi tersebut dilindungi oleh pagar besi bercat hijau. Pintu kecil di sebelah barat tertutup rapat. Terkunci. Hanya pada momen-momen tertentu saja pagar tersebut dibuka. Saat dikuras atau dibersihkan, mungkin. Tepat di selatan dari taman alun-alun tugu ini, berdiri gedung Balai Kota Malang yang cantik namun terkesan bersahaja. Nyaris bergaris lurus dari tugu itu. Hanya dipisahkan oleh Jalan Tugu yang sama. Dilintasi lalu-lalang kendaraan dari arah Stasiun Malang, Jalan Gajah Mada, atau yang putar balik dari arah depan “PARKIR UMUM” tadi.
Taman alun-alun tugu ini dan lobi teras di lantai dua gedung Balai Kota itu mengingatkan saya akan sejarah di masa lalu. Saya mencari tempat duduk yang kosong. Ada satu tempat, dan segera saya duduk di sana. Memandang taman ini, tugu, dan balai kota itu. Deru mesin kendaraan bermotor, cuap-cuap pengunjung lain, mendadak samar. Tersapu semilir angin kota yang masih membawa sedikit kesejukan. Ada yang berbicara, menuturkan sejarah. Anginkah yang berbicara? Atau ingatan itu sendiri.
* * *
Balai Kota Malang
Barangkali Kota Malang lahir terlalu prematur pada tanggal 1 April 1914. Dewan kota dan walikota belum ada, bahkan kantor pemerintahan pun belum punya. Mau bagaimana lagi. Semenjak ditetapkan sebagai a full blown town (kota yang tumbuh dewasa) pada 1905, Kota Malang -saat itu berbentuk kawedanan- tumbuh sangat cepat di semua lini. Itulah sebabnya, pemerintah Hindia Belanda memutuskan melalui Instellings-Ordonnantie pada 1914 Staatsblad Nomor 297, Kawedanan Kotta (Kota Malang) ditetapkan menjadi gemeentee (kotapraja).
Berturut-turut berbagai perubahan di tahun-tahun berikutnya begitu cepat terjadi. Terlebih semenjak ditetapkannya H. I. Bussemaker sebagai wali kota Malang yang pertama pada tahun 1919. Kiranya patut berterima kasih atas segala prestasinya yang membuat Kota Malang berkembang pesat. Termasuk pembangunan daerah pusat pemerintahan baru dan gedung balai kota yang dicanangkan pada 26 April 1920.
Pembangunan gedung balai kota dimulai pada 1927, dengan rancangan gedung oleh H. F. Horn dari Semarang dengan perbaikan dari pemerintah kota. Adapun ruang wali kota dirancang oleh C. Citroen dari Surabaya. Dibangun selama dua tahun, hingga akhirnya pada September 1929 gedung balai kota resmi ditempati kali pertama oleh Ir. E. A. Voorneman. Wali kota penerus Bussemaker.