Akhirnya gue lolos SMP juga. Hal pertama yang ada di benak gue setelah lolos dari SMP adalah bagaimana caranya bisa masuk ke salah satu SMA Negeri yang ada di Bandar Lampung ini (Nenek gue udah paham soal ini).
Dengan harapan, kebodohan, kecemenan dan keanehan gue sewaktu SMP enggak ngikutin gue terus. Saat itu gue berharap agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi (behh..). Bagaimana tidak? Saat SMP gue itu merasa kalau gue ini tidak ada gunanya, tidak ada artinya. Bahkan gue merasa kalau gue ini memang enggak ada bagi mereka.
Mungkin ini kali ya alasan kenapa sewaktu SMP kalau gue lagi jalan sering ditabrak. Dan lebih parahnya lagi, gue pernah kesiram cuka sama salah satu anak kelas sembilan (waktu itu gue baru kelas delapan) dan dia merasa kalau dia itu sebagai makhluk yang tidak berdosa di dunia ini, nyiram dan pergi.
“aduh, kok bisa tumpah gini kak?” kata gue, kaget.
Dia hanya berlalu begitu saja, tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
Gue hanya bengong meratapi kejadian itu dan gue berpendapat kalau gue ini mungkin di mata dia hanya seperti jenis bunga-bungaan yang harus disiram.
Setelah melakukan beberapa pertimbangan, bokap gue nyuruh daftar di SMAN 10.
“udah daftar di 10 aja, dari pada pusing-pusing” usul bokap gue.
“kenapa harus di 10?”
“gak apa-apa, biar bisa dapat nilai 10 terus” kata bokap gue, nyeletuk.
Mendengar kata-kata itu, kepala gue langsung pusing tiga keliling (kenapa bukan tujuh). Gue merasa kalau bokap gue ini seperti sedang memberi alasan ke anak TK.
Tapi gue punya beberapa alasan untuk menolak daftar di SMA 10. Pertama: jaraknya terlalu jauh, kedua: otak gue terlalu bodoh dan ketiga: sekolahnya jauh dari pasar (Walaupun gue jarang ke pasar, tapi lumayanlah buat nambah alasan gue enggak mau sekolah di situ).
Tapi dengan semangat yang berapai-api, bokap gue kekeh nyuruh gue daftar di situ. Ya, apa boleh buat, sebagai anak yang saleh, gue nurut aja akan perintah dia. Nanti kalau ngelawan nasib gue bakal sama kaya maling kutang (Lho).
Temen gue si fahmi ngusulin gue “daftar di 4 aja pan” katanya.
“Emang kenapa kalau daftar di 10?” jawab gue.
Dengan gaya yang hampir menyerupai mbah surip fahmi meyakinkan gue “kalau di 10 itu temen kita Cuma dikit, nanti nggak bisa minta kunci jawaban lagi saat tes”
Mendengar kata-kata fahmi, hati gue tergugah untuk mengikuti dia. Tapi keyakinan dan pendirian gue tetep kokoh untuk daftar di 10, karena enggak mau mengecewakan sang bokap.
Setelah gue rayu dengan rayuan maut yang gue punya, akhirnya si fahmi luluh juga hatinya dan mau ikut gue daftar di 10 (huu, untung nggak jatuh cinta tu si fahmi sama gue).
Karena saat itu untuk masuk SMA ada tiga pilihan yang harus dipilih. Akhirnya gue dan fahmi sepakat untuk daftar di SMA 10, 4 dan 11.
“kenapa harus 11 pan? kurang bagus lagi sekolahannya.” kata fahmi, songong.
“gak kan apa-apa, lo tau parasut?” tanya gue, sok bijak
“tahu”
“nah, kita anggap SMA 11 itu sebagai parasut kita.”
“maksudnya?” fahmi mulai penasaran.
“Di saat nama kita nanti enggak keluar di SMA 10 dan 4. Kita masih bisa selamat dengan masuk ke SMA 11. Ya, seharusnya secara otomatis kita bisa masuk ke 11″ jelas gue, sok songong.
Selama empat hari sebelum tes masuk SMA dimulai, gue telah mempersiapkan diri gue dengan membaca segala sesuatu yang berbau pelajaran. Bahkan tanpa sengaja gue pernah membaca buku tentang s*x education. Gue kira sebelumnya kalau buku itu adalah buku biologi, soalnya di bagian sampulnya itu terdapat gambar seorang pria dengan bagian organ dalam tubuh yang kelihatan (sejenis leak mungkin orang ini). Saat gue baca buku itu, gue merasa kalau efek yang akan terjadi sama diri gue bukan untuk tiga tahun ke depan, melainkan untuk tiga tahun setelah pernikahan.
Waktu tes telah tiba, gue dan fahmi dengan percaya diri menuju ketempat pertempuran, yang akan menentukan nasib kita nanti masuk SMA yang mana.
“waktunya telah tiba sob” gue mencoba meyakinkan.
“bener sob, kita harus tuntaskan hari ini juga” tegas fahmi.
Enggak tahu kenapa, gue merasa kalau kata-kata terakhir yang keluar dari mulut fahmi seperti kata-kata orang yang mau mencabuli anak SD.
Dengan gaya yang sok cool, kami pun masuk ke dalam SMA 10 melewati koridor-koridor kelas yang sebagian telah penuh oleh peserta lain yang mungkin sejak subuh menantikan saat ini. Berhubung kelas gue dan fahmi berbeda, kita pun berpisah.
Saat gue memasuki ruangan tes, semua mata peserta lain memandang ke arah gue. Entah apa yang membuat mereka tertarik sama gue, tetapi gue merasa kalau ada yang aneh sama gue. Mungkin karena gue lupa pake bedak tadi pagi.
Tidak lama setelah gue duduk, bel pertanda ujian dimulai berdering. Sebagian peserta sibuk mempersiapkan alat tulisnya, sebagian lagi ada yang sok-sokan jadi mbah dukun. Mulut mereka tengah berkomat-kamit, entah apa yang mereka baca, yang jelas itu membuat gue jadi pengen ikutan (latah gue nggak ilang-ilang).
Di saat tegang, Gue mencoba menenangkan diri gue sendiri.
“jangan takut pan, lo harus berani! kan elo masih punya parasut”
Saat lembar soal telah dibagikan oleh pengawas, antung gue semakin berdetak enggak karuan. Bibir yang tadinya merah merekah, seketika menjadi hitam pucat (nah lho).
Ditambah lagi, karakter si guru pengawas yang begitu killer. Beberapa kali dia sempat mengancam, kalau dia enggak segan-segan akan mengambil lembaran siswa yang ketahuan nyontek.
“siapa yang berani berbuat curang, saya akan langsung mengambil lembar jawaban kalian”
Suara itu begitu mantap terniang di telinga gue. Gue buka lembar soal dengan perlahan-lahan, berharap soal yang ada di dalamnya tidak sulit. Tapi harapan dan kenyataan itu selalu bergerak berlawanan. Gue mau pingsan melihat soal tes yang begitu ribetnya. Karena kebetulan atau tidak, halaman pertama dari soal itu adalah pelajaran matematika.
Pelajaran yang mereka suka, tapi gue tidak suka. Saat mau pingsan, gue masih mikir, kalau gue pingsan di sini enggak ada yang mau ngegotong gue nanti. Akhirnya gue putuskan kalau pingsannya nanti saja kalau sudah nyampe rumah.
Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan semua penyiksaan itu adalah 120 menit. Selama itu juga keringat gue mulai berkucuran, hidung gue kembang kempis dan perut gue keroncongan (apa hubungannya). Gue coba mengingat semua yang telah gue pelajari sebelumnya, tapi semakain gue mencoba untuk mengingat, semankin pikiran gue digerayangin oleh hal-hal negatif yang bersumber dari buku s*x education yang sebelumnya gue baca dengan khusyuk.
Tanpa terasa, waktu tes tinggal 15 menit lagi. Dan lembar jawaban yang gue pegang 75% masih bersih mengkilap.
“hebattt, waktu tinggal 15 menit lagi dan gue baru ngejawab 9 soal” gue mulai panik.
Seketika itu juga, khayalan-khayalan aneh gue mulai menguasai pikiran gue. Gue berhayal kalau pengawas datang menghampiri gue dan memberikan kunci jawaban ke gue. Lebih parah lagi, gue juga sempet berkhayal kalau malaikat jibril datang kepada gue dan membisikan gue jawaban dari soal-soal itu.
Tapi khayalan tinggallah khayalan. Setelah gue merasa kalau tidak ada jalan lain, gue pun mulai mengisi bagian yang masih kosong dengan cap-cip-cup. Dan luar biasa hanya dengan 5 menit, lembar jawaban gue telah penuh dengan cap-cip-cup.
Setelah ngumpul soal, gue pun keluar dan duduk di depan kelas. Saat itu pikiran gue masih kosong, bahkan roh gue kalau bisa kabur, bakalan kabur itu dari diri gue. Tidak lama setelah lamunan gue berjalan, tiba-tiba si fahmi datang menghampiri gue.
“Cabut yuk” kata dia, dengan nada yang sedikit lesu.
Saat itu gue ngelihat muka fahmi hampir sama dengan ekspresi orang-orang yang ada di pengungsian bencana alam. Gue yakin kalau si fahmi memiliki penderitaan yang sama kaya gue. Tanpa sepata kata pun, kami berdua pergi meninggalkan SMA 10. Setiap orang yang melihat ekspresi kita pasti mereka langsung berpikir kalau kita ini baru saja diusir dari panti asuhan karena saat makan selalu minta nambah.
Setelah penantian selama seminggu, akhirnya pengumuman masuk SMA keluar juga. Gue harap-harap cemas menantikan hasil yang bakal gue terima nantinya. Malam itu gue berdoa.
“ya allah apabila engkau berkehendak, maka masukanlah aku ke salah satu SMA negeri yang aku pilih. Dan apabila aku tidak masuk kemana-mana, maka aku ikhlas dengan takdirmu ya allah”
Keesokan paginya, gue membeli koran dan melihat di daftar siswa yang keterima di SMA 10. Saat gue mencari-cari nama gue, hasilnya alhamdulillah, gue enggak keterima beneran.
Harapan gue mulai sirna, apalagi setelah gue tahu kalau nama gue enggak ada juga di daftar siswa yang keterima di SMA 4.
satu-satunya harapan gue untuk masuk SMA negeri tinggal SMA 11 saja. Gue cari-cari nama gue di bagian SMA 11, dari atas ke bawah dari bawah ke atas, gue terus mencari nama gue. Sampai akhirnya gue terkejut, nama gue tidak ada dimana-mana.
Rasanya ingin sekali gue teriak.
“HOORREEE!!”
Ehh salah.. “TIIDAAKKK”
Disaat hati gue lagi gundah, tiba-tiba Hp gue berdering dan saat gue lihat ternyata fahmi menelpon gue.
“hallo, ada apa mi?” dengan nada seperti orang kena TBC.
“lo udah ngelihat pengumuman di koran” tanya dia diujung sana.
“udah mi” jawab gue dengan terpaksa.
“terus hasilnya kaya mana?”
“ya kaya gitu, saat korannya mau nyetak nama gue, tiba-tiba tintanya habis. Ya udah nama gue jadi enggak ada” di saat keadaan seperti ini, gue masih sempet-sempetnya menyombongkan diri.
“kalau begitu kita sama dong” terang fahmi. “tut-tut-tut”. Fahmi memutuskan pembicaraan.
Nada yang keluar saat itu seperti lagu anak-anak, ingin sekali rasanya gue meneruskan liriknya “siapa hendak turut…” tapi sayangnya gue enggak hafal lagu itu.
Setelah mendengar kata-kata fahmi, Gue merasa kalau fahmi mempunyai beban hidup yang berat kayak gue. Tapi semua berubah, saat fahmi mengirim sms ke gue dengan nada seperti orang yang baru dapat hadiah. “HOREE, gue enggak diterima di SMA negeri” begitu singkat dan jelas sms yang dia kirim, membuat gue berasumsi kalau si fahmi udah jadi stres gara-gara ini semua.
Rasa sedih, kecewa dan
Akhirnya gue lolos SMP juga. Hal pertama yang ada di benak gue setelah lolos dari SMP adalah bagaimana caranya bisa masuk ke salah satu SMA Negeri yang ada di Bandar Lampung ini (Nenek gue udah paham soal ini).Dengan harapan, kebodohan, kecemenan dan keanehan gue sewaktu SMP enggak ngikutin gue terus. Saat itu gue berharap agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi (behh..). Bagaimana tidak? Saat SMP gue itu merasa kalau gue ini tidak ada gunanya, tidak ada artinya. Bahkan gue merasa kalau gue ini memang enggak ada bagi mereka.Mungkin ini kali ya alasan kenapa sewaktu SMP kalau gue lagi jalan sering ditabrak. Dan lebih parahnya lagi, gue pernah kesiram cuka sama salah satu anak kelas sembilan (waktu itu gue baru kelas delapan) dan dia merasa kalau dia itu sebagai makhluk yang tidak berdosa di dunia ini, nyiram dan pergi.“aduh, kok bisa tumpah gini kak?” kata gue, kaget.Dia hanya berlalu begitu saja, tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.Gue hanya bengong meratapi kejadian itu dan gue berpendapat kalau gue ini mungkin di mata dia hanya seperti jenis bunga-bungaan yang harus disiram.Setelah melakukan beberapa pertimbangan, bokap gue nyuruh daftar di SMAN 10.“udah daftar di 10 aja, dari pada pusing-pusing” usul bokap gue.“kenapa harus di 10?”“gak apa-apa, biar bisa dapat nilai 10 terus” kata bokap gue, nyeletuk.Mendengar kata-kata itu, kepala gue langsung pusing tiga keliling (kenapa bukan tujuh). Gue merasa kalau bokap gue ini seperti sedang memberi alasan ke anak TK.Tapi gue punya beberapa alasan untuk menolak daftar di SMA 10. Pertama: jaraknya terlalu jauh, kedua: otak gue terlalu bodoh dan ketiga: sekolahnya jauh dari pasar (Walaupun gue jarang ke pasar, tapi lumayanlah buat nambah alasan gue enggak mau sekolah di situ).Tapi dengan semangat yang berapai-api, bokap gue kekeh nyuruh gue daftar di situ. Ya, apa boleh buat, sebagai anak yang saleh, gue nurut aja akan perintah dia. Nanti kalau ngelawan nasib gue bakal sama kaya maling kutang (Lho).Temen gue si fahmi ngusulin gue “daftar di 4 aja pan” katanya.“Emang kenapa kalau daftar di 10?” jawab gue.Dengan gaya yang hampir menyerupai mbah surip fahmi meyakinkan gue “kalau di 10 itu temen kita Cuma dikit, nanti nggak bisa minta kunci jawaban lagi saat tes”Mendengar kata-kata fahmi, hati gue tergugah untuk mengikuti dia. Tapi keyakinan dan pendirian gue tetep kokoh untuk daftar di 10, karena enggak mau mengecewakan sang bokap.Setelah gue rayu dengan rayuan maut yang gue punya, akhirnya si fahmi luluh juga hatinya dan mau ikut gue daftar di 10 (huu, untung nggak jatuh cinta tu si fahmi sama gue).Karena saat itu untuk masuk SMA ada tiga pilihan yang harus dipilih. Akhirnya gue dan fahmi sepakat untuk daftar di SMA 10, 4 dan 11.“kenapa harus 11 pan? kurang bagus lagi sekolahannya.” kata fahmi, songong.“gak kan apa-apa, lo tau parasut?” tanya gue, sok bijak“tahu”“nah, kita anggap SMA 11 itu sebagai parasut kita.”“maksudnya?” fahmi mulai penasaran.“Di saat nama kita nanti enggak keluar di SMA 10 dan 4. Kita masih bisa selamat dengan masuk ke SMA 11. Ya, seharusnya secara otomatis kita bisa masuk ke 11″ jelas gue, sok songong.Selama empat hari sebelum tes masuk SMA dimulai, gue telah mempersiapkan diri gue dengan membaca segala sesuatu yang berbau pelajaran. Bahkan tanpa sengaja gue pernah membaca buku tentang s*x education. Gue kira sebelumnya kalau buku itu adalah buku biologi, soalnya di bagian sampulnya itu terdapat gambar seorang pria dengan bagian organ dalam tubuh yang kelihatan (sejenis leak mungkin orang ini). Saat gue baca buku itu, gue merasa kalau efek yang akan terjadi sama diri gue bukan untuk tiga tahun ke depan, melainkan untuk tiga tahun setelah pernikahan.Waktu tes telah tiba, gue dan fahmi dengan percaya diri menuju ketempat pertempuran, yang akan menentukan nasib kita nanti masuk SMA yang mana.“waktunya telah tiba sob” gue mencoba meyakinkan.“bener sob, kita harus tuntaskan hari ini juga” tegas fahmi.Enggak tahu kenapa, gue merasa kalau kata-kata terakhir yang keluar dari mulut fahmi seperti kata-kata orang yang mau mencabuli anak SD.Dengan gaya yang sok cool, kami pun masuk ke dalam SMA 10 melewati koridor-koridor kelas yang sebagian telah penuh oleh peserta lain yang mungkin sejak subuh menantikan saat ini. Berhubung kelas gue dan fahmi berbeda, kita pun berpisah.Saat gue memasuki ruangan tes, semua mata peserta lain memandang ke arah gue. Entah apa yang membuat mereka tertarik sama gue, tetapi gue merasa kalau ada yang aneh sama gue. Mungkin karena gue lupa pake bedak tadi pagi.Tidak lama setelah gue duduk, bel pertanda ujian dimulai berdering. Sebagian peserta sibuk mempersiapkan alat tulisnya, sebagian lagi ada yang sok-sokan jadi mbah dukun. Mulut mereka tengah berkomat-kamit, entah apa yang mereka baca, yang jelas itu membuat gue jadi pengen ikutan (latah gue nggak ilang-ilang).Di saat tegang, Gue mencoba menenangkan diri gue sendiri.“jangan takut pan, lo harus berani! kan elo masih punya parasut”Saat lembar soal telah dibagikan oleh pengawas, antung gue semakin berdetak enggak karuan. Bibir yang tadinya merah merekah, seketika menjadi hitam pucat (nah lho).Ditambah lagi, karakter si guru pengawas yang begitu killer. Beberapa kali dia sempat mengancam, kalau dia enggak segan-segan akan mengambil lembaran siswa yang ketahuan nyontek.“siapa yang berani berbuat curang, saya akan langsung mengambil lembar jawaban kalian”Suara itu begitu mantap terniang di telinga gue. Gue buka lembar soal dengan perlahan-lahan, berharap soal yang ada di dalamnya tidak sulit. Tapi harapan dan kenyataan itu selalu bergerak berlawanan. Gue mau pingsan melihat soal tes yang begitu ribetnya. Karena kebetulan atau tidak, halaman pertama dari soal itu adalah pelajaran matematika.Pelajaran yang mereka suka, tapi gue tidak suka. Saat mau pingsan, gue masih mikir, kalau gue pingsan di sini enggak ada yang mau ngegotong gue nanti. Akhirnya gue putuskan kalau pingsannya nanti saja kalau sudah nyampe rumah.Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan semua penyiksaan itu adalah 120 menit. Selama itu juga keringat gue mulai berkucuran, hidung gue kembang kempis dan perut gue keroncongan (apa hubungannya). Gue coba mengingat semua yang telah gue pelajari sebelumnya, tapi semakain gue mencoba untuk mengingat, semankin pikiran gue digerayangin oleh hal-hal negatif yang bersumber dari buku s*x education yang sebelumnya gue baca dengan khusyuk.Tanpa terasa, waktu tes tinggal 15 menit lagi. Dan lembar jawaban yang gue pegang 75% masih bersih mengkilap.“hebattt, waktu tinggal 15 menit lagi dan gue baru ngejawab 9 soal” gue mulai panik.Seketika itu juga, khayalan-khayalan aneh gue mulai menguasai pikiran gue. Gue berhayal kalau pengawas datang menghampiri gue dan memberikan kunci jawaban ke gue. Lebih parah lagi, gue juga sempet berkhayal kalau malaikat jibril datang kepada gue dan membisikan gue jawaban dari soal-soal itu.Tapi khayalan tinggallah khayalan. Setelah gue merasa kalau tidak ada jalan lain, gue pun mulai mengisi bagian yang masih kosong dengan cap-cip-cup. Dan luar biasa hanya dengan 5 menit, lembar jawaban gue telah penuh dengan cap-cip-cup.Setelah ngumpul soal, gue pun keluar dan duduk di depan kelas. Saat itu pikiran gue masih kosong, bahkan roh gue kalau bisa kabur, bakalan kabur itu dari diri gue. Tidak lama setelah lamunan gue berjalan, tiba-tiba si fahmi datang menghampiri gue.“Cabut yuk” kata dia, dengan nada yang sedikit lesu.
Saat itu gue ngelihat muka fahmi hampir sama dengan ekspresi orang-orang yang ada di pengungsian bencana alam. Gue yakin kalau si fahmi memiliki penderitaan yang sama kaya gue. Tanpa sepata kata pun, kami berdua pergi meninggalkan SMA 10. Setiap orang yang melihat ekspresi kita pasti mereka langsung berpikir kalau kita ini baru saja diusir dari panti asuhan karena saat makan selalu minta nambah.
Setelah penantian selama seminggu, akhirnya pengumuman masuk SMA keluar juga. Gue harap-harap cemas menantikan hasil yang bakal gue terima nantinya. Malam itu gue berdoa.
“ya allah apabila engkau berkehendak, maka masukanlah aku ke salah satu SMA negeri yang aku pilih. Dan apabila aku tidak masuk kemana-mana, maka aku ikhlas dengan takdirmu ya allah”
Keesokan paginya, gue membeli koran dan melihat di daftar siswa yang keterima di SMA 10. Saat gue mencari-cari nama gue, hasilnya alhamdulillah, gue enggak keterima beneran.
Harapan gue mulai sirna, apalagi setelah gue tahu kalau nama gue enggak ada juga di daftar siswa yang keterima di SMA 4.
satu-satunya harapan gue untuk masuk SMA negeri tinggal SMA 11 saja. Gue cari-cari nama gue di bagian SMA 11, dari atas ke bawah dari bawah ke atas, gue terus mencari nama gue. Sampai akhirnya gue terkejut, nama gue tidak ada dimana-mana.
Rasanya ingin sekali gue teriak.
“HOORREEE!!”
Ehh salah.. “TIIDAAKKK”
Disaat hati gue lagi gundah, tiba-tiba Hp gue berdering dan saat gue lihat ternyata fahmi menelpon gue.
“hallo, ada apa mi?” dengan nada seperti orang kena TBC.
“lo udah ngelihat pengumuman di koran” tanya dia diujung sana.
“udah mi” jawab gue dengan terpaksa.
“terus hasilnya kaya mana?”
“ya kaya gitu, saat korannya mau nyetak nama gue, tiba-tiba tintanya habis. Ya udah nama gue jadi enggak ada” di saat keadaan seperti ini, gue masih sempet-sempetnya menyombongkan diri.
“kalau begitu kita sama dong” terang fahmi. “tut-tut-tut”. Fahmi memutuskan pembicaraan.
Nada yang keluar saat itu seperti lagu anak-anak, ingin sekali rasanya gue meneruskan liriknya “siapa hendak turut…” tapi sayangnya gue enggak hafal lagu itu.
Setelah mendengar kata-kata fahmi, Gue merasa kalau fahmi mempunyai beban hidup yang berat kayak gue. Tapi semua berubah, saat fahmi mengirim sms ke gue dengan nada seperti orang yang baru dapat hadiah. “HOREE, gue enggak diterima di SMA negeri” begitu singkat dan jelas sms yang dia kirim, membuat gue berasumsi kalau si fahmi udah jadi stres gara-gara ini semua.
Rasa sedih, kecewa dan
การแปล กรุณารอสักครู่..